Efek Melankolis

“Honey, aku harus jujur ke kamu sekarang” sahut Jeremy sembari memegang erat kedua tanganku dan menatapku dengan tajam. Entah mengapa, air mata mulai membasahi pipi seakan aku tak siap mendengar kejujuran Jeremy. Aku mencoba menguatkan hati namun aku tak mampu. Sambil menarik nafas panjang berusaha melepas rasa sesak dalam dada, akupun bertanya, “ada apa honey?”. “Aku mau menikah dengan Gloria” jawabnya dengan suara lembut dan air mataku semakin deras mengalir. Aku tak mampu berkata-kata, hanya bisa terus menangis. Ingin rasanya menampar kedua pipi Jeremy tapi aku tak sanggup. Aku seakan dibuat lemah tak berdaya.

Aku hanya bisa melihat kedua mata Jeremy yang sedikit tertutup oleh bulu matanya yang panjang, menangis di hadapannya sembari menggelengkan kepala. Aku terkejut tak menyangka bahwa Ia akan menikahi wanita yang selama ini sudah kucurigai. Wanita yang sering diceritakan oleh Jeremy bahwa Ia adalah teman sekantornya yang sering curhat soal calon suaminya. “Tapi, mengapa kini Ia malah ingin menikah dengan Gloria” tanyaku dalam hati. “ARRRGGGHH!” aku teriak di hadapannya. Kepalaku terasa mumet mau pecah dan hatiku hancur berkeping-keping. Aku terdiam dan hanya bisa terus menangis. Jeremy mencoba mengusap air mata di pipiku sambil berulang kali minta maaf dan sesekali mencium kedua pipiku seakan ingin menghapus kesedihan yang ada di air mata itu.

Aku menangis hingga tak ada air mata lagi yang keluar. Aku lemas. Aku capek. Aku bingung. Aku terdiam beberapa saat dengan kepala tertunduk sambil berusaha mencoba menerima kenyataan pahit yang kudengar dari mulut Jeremy. Banyak pertanyaan yang memenuhi otakku megisyaratkan bahwa aku belum ikhlas menerima Jeremy menikah dengan Gloria. Mengapa harus wanita itu. Mengapa. Jadi, yang selama ini kamu katakan bahwa Gloria itu just a friend itu maksudnya apa?. Mana janjimu yang akan menemaniku hingga waktu yang telah kita sepakati, Jer?.

Aku sudah tak sanggup menyimpan semua pertanyaan. Aku mengangkat kepala, menampar pipi Jeremy sekencang-kencangnya dan aku berteriak di depan mukanya, “jadi yang selama ini kamu omongin itu bullshit semua! Kenapa kamu harus tutup-tutupi dari aku?” “Honey, please, dengerin aku dulu” pinta Jeremy sambil menarik badanku ke dalam pelukannya. Aku yang terlalu bodoh menyayanginya langsung memeluk erat tubuh gempalnya dan kembali menangis sesenggukan. “Aku mau pulang aja, Jer. Aku nggak bisa mikir. Aku sedih banget denger kejujuran kamu” kataku pada Jeremy. “Honey, please. Aku mau jelasin dulu yah. Aku sudah memikirkan hal ini dari jauh-jauh hari. Apalagi mama dan papaku berulang kali bertanya sampai kapan aku sendirian? Lagipula, kita kan udah sama-sama tau bahwa kita nggak bisa berlanjut toh, jadi kupikir lebih baik aku jujur sekarang daripada nanti-nanti malah membuat kamu semakin terluka” “Aku paham maksud kamu Jer, tapi kenapa harus Gloria? Kamu tau kan kalau aku nggak suka sama wanita itu?” timpalku yang masih belum menerima bahwa wanita pilihannya jatuh pada Gloria. “Tapi sudahlah, antar aku pulang. Saat ini aku cuma pengin sampe rumah segera” pintaku pada Jeremy. Jeremy mengarahkan badanku kehadapannya sambil berkata, “Honey, percayalah, semuanya bisa diselesaikan baik-baik. Aku tau kamu orang yang positif. Kamu wanita paling logis yang aku kenal. Kamu wanita cerdas dan selalu ceria” “Beri aku waktu 10 menit, jangan ganggu aku, jangan sentuh aku, biarkan aku berdamai dengan diriku sendiri” pintaku pada Jeremy.

Aku segera menuju ke depan jendela dalam ruangan tersebut. Menatap jalanan dan gedung tinggi di luar sana serta pepohonan hijau yang menghiasi beberapa sudut diantara keduanya. Mencoba terapi menenangkan diri, menarik napas panjang dan berhitung satu sampai sepuluh. Mencoba menstabilkan emosi, mengatur otak untuk berpikir positif bahwa cepat atau lambat, kejujuran ini akan terungkap. “Ini semua hanya masalah waktu” kataku berulang kali dalam hati.

“Oke, kamu silahkan saja kalau mau menikah dengannya, toh, kita nggak bisa bersama selamanya kan?” kataku pada Jeremy sambil tersenyum. “Sekarang, anterin aku pulang yuk. Aku pengin di rumah aja” lanjutku kembali dengan terus berusaha untuk mengikhlaskan diri yang walaupun kusadari ikhlas itu sulit dilakukan dalam sekejap. Jeremy pun tersenyum. Dia sudah paham tabiatku dan Ia bergegas merapihkan segala sesuatunya untuk kemudian mengantarku kembali ke rumah.

“Emang kapan rencananya kamu mau menikah?” tanyaku pada Jeremy sebelum turun dari mobil. “Desember” jawabnya cepat. “Hah? Tiga bulan lagi?? Nggak salah??”

—-

You may also like...

1 Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Web Design BangladeshWeb Design BangladeshMymensingh