Terima Kasih Cikuray

Cikuray

Kamis malam sekitar pukul 21.00, Gue bareng Rara, Leo dan Zhaky menjumpai Satria di terminal Kampung Rambutan. Malam itu kami sebenarnya janjian pukul 20.00, tapi kemacetan ibu kota menjelang long weekend menghambat perjumpaan kami pada waktu yang telah ditentukan. Terlebih lagi dengan Randy, dkk yang baru tiba disana pukul 23.45. Setelah semua berkumpul, kami naik bis menuju terminal Guntur, Garut. Keseluruhan kami berjumlah 13 orang termasuk Gilang, keponakan Dede yang berusia 9 tahun. Ia akan mendaki bersama kami ke gunung Cikuray.

Begitu duduk di dalem bis, ternyata Gue menjumpai Gani bersama temannya yang mau menanjak ke Pangrango. Namun, Gue dan Gani tidak banyak ngobrol karena Gue udah lelah dan langsung memilih untuk tidur. Ketika terbangun, Gue melihat keluar jendela dan menyadari sedang berada di Ciawi. Gue langsung berpikir dalam hati, “Kenapa lewat Ciawi yah? Perasaan dulu pas ke Papandayan nggak lewat sini.” Namun seketika, pikiran Gue teralihkan ketika Rara bilang, “Mbak, tadi Randy merhatiin gelang di tangan mbak Ea, terus dia nyari gelang yang dikasi waktu di Merbabu. Yauda aku langsung tunjukin aja kalo gelangnya ada di tangan aku, baru deh dia senyum mengangguk.” Gue cuma tersenyum sambil menghirup dinginnya udara  malam di kawasan puncak dan Gue langsung tidur lagi. Gue sadar, nanjak Cikuray butuh stamina yang cukup kuat, sehingga semaksimal mungkin Gue memanfaatkan waktu yang ada untuk tidur, tidur dan tidur.

Terbangun untuk kesekian kalinya, Gue lihat jam yang menunjukan waktu pukul 6 pagi. Lalu Gue nanya ke Leo, “Kita koq belum sampe yah, Mas?” “Iya, soalnya kita lewat puncak jadi jalurnya muter-muter. Harusnya via tol Cipularang.” “Terus, kita sampenya jam berapa?” tanya Gue lagi. “Nggak tau juga” jawab Leo singkat karena sudah bosan di dalam bis. Gue cuma merhatiin pengamen dan bermacam tukang jualan mulai dari gesper magnet, ketan bakar, tas multifungsi, minuman botol dan yang lainnya hilir mudik masuk ke dalam bis sambil dengerin musik yang ada di pemutar musik Gue, untuk membunuh waktu.

Sekitar pukul 9 pagi, akhirnya kami tiba di terminal Guntur. Kami bertiga belas turun dari bis mengambil keril masing-masing dan masuk ke dalam rumah makan di seberang terminal. Kami sarapan self service dan juga berbenah diri. Mulai dari cuci muka, berganti pakaian, buang air kecil sampe repacking keril. Gue sendiri memilih untuk keramasan dan melaksanakan ritual pagi lainnya biar keliatan fresh. Terus Gue juga beli air mineral botol 1,5 liter sebanyak 2 botol untuk dibawa ke Cikuray. Satria berulang kali mengingatkan bahwa di Cikuray nggak ada air, sehingga dibuat kesepakatan untuk cewe bawa 2 botol air mineral 1,5 liter sedangkan cowo membawa 3 botol air mineral 1,5 liter. Dan keril Gue pun jadi berat. Disinilah kisah perjalanan Cikuray bermula.

Satria memesan angkot untuk kami menuju ke pos pemancar. Biaya sewa angkot per orang adalah Rp. 45.000 kecuali Gilang, gratis, karena masih bocah. Supir angkot mulai menyusun keril kami di atap, mengikatkannya dengan tali dan kemudian satu per satu masuk ke dalam. Gue dan Rara memilih untuk duduk di depan dan sisanya dibelakang. Menurut supir angkot, perjalanan menuju ke pos pemancar membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Jalanan yang ditempuh awalnya adalah jalanan beraspal biasa hingga akhirnya setelah bertemu dengan pertigaan yang terdapat plang ‘Pos Pemancar Cikuray’ kami berbelok ke kanan memasuki area perkampungan dengan jalanan sempit. Setelah itu kembali menemui pertigaan dengan banyak ojek di sisi kiri, kami berbelok ke kanan. Jalanan yang kami hadapi kini adalah jalanan berbatuan satu jalur dengan pemandangan sekitar yang cukup membuat mata segar yaitu perkebunan milik warga dan pepohonan yang menjulang tinggi.

jalur angkot Sempat Gue bertanya ke supir angkot, “Kalau ada kendaraan lain dari depan gimana lewatnya nih Pak?” “Yaa bergantian, minggir dulu biar bisa lewat.” Gue cuma terdiam dan berharap tidak ada mobil yang lewat supaya cepet sampe ke pos pemancar. Semakin dekat ke pos pemancar, semakin banyak pemandangan perkebunan teh yang disuguhkan. Hektaran kebun teh membentuk perbukitan rasanya sayang jika dilewatkan untuk tidak berfoto. Begitu tiba di pos simaksi, Gue langsung keluar dari angkot, berjalan menuju kebon teh dan minta tolong di fotoin sama Randy. Rara juga nggak mau kalah eksis sama Gue, jadilah kita foto bergantian sementara Satria mengurus simaksi. Biaya simaksi per orang adalah Rp. 10.000, kecuali Gilang, gratis, karena masih bocah.

kebon teh

Kembali melanjutkan perjalanan menuju pos pemancar dimana jalannya menanjak, supir angkot bilang ke kita, “Disini harus ada yang jalan kaki yah, soalnya nggak kuat nanjak. Maksimal 7 orang aja yang ada di angkot, selebihnya jalan yah sampai pos pemancar.” Gue langsung memutuskan untuk berjalan kaki menuju pos pemancar yang jaraknya sudah tidak jauh lagi. Hitung-hitung untuk pemanasan sebelum nanjak. Gue, Randy, Satria, Ryan, Wiken, Dede dan Irfan berjalan menuju pos pemancar. Setibanya disana, semua keril sudah diturunkan dan yang lain sedang duduk santai sembari menunggu kami. Kami beristirahat sejenak sebelum memulai pendakian. Ada yang sholat dzuhur, isi air ke dalam jirigen buat dibawa, pemasanan singkat dan ada pula yang sibuk berfoto. Iya, itu Gue. Apelo?

Setelah semuanya siap, kami mengawali pendakian dengan doa. Lalu kami menuju pos pendaftaran dan  meninggalkan KTP Rara sebagai tanda perwakilan kelompok kami. Pendakian pertama melewati kebon teh, Gue yang bawa keril dengan air mineral 2 botol langsung memutuskan untuk tidak banyak ngomong demi menghemat energi. Namun Randy sesekali mancing Gue buat ngomong, “Hai, Mbak Ea” tapi Gue cuma senyum. Setelah melewati kebon teh, kami menjumpai dataran dan beristirahat sejenak buat sekedar mengambil nafas panjang. Disitu Gue baru mau ngobrol dengan Randy, bertanya soal pos yang ada di Cikuray. “Randy, pos satu masih jauh?”. “Disini mah nggak ada tulisan pos-pos nya mba Ea”. “Halah, hoax deh pasti”. “Beneran Gue, Mbak”. “Pos satu di balik pohon-pohon tinggi itu tuh Mbak” sahut Satria sambil menunjuk ke arah depan yang semuanya adalah pepohonan tinggi dalam hutan. “Ah, sudahlah” kata Gue dan yang lain tertawa tanda bahagia karena Gue pasrah. “Yuk lanjut.”

Kami melanjutkan perjalanan memasuki kawasan hutan. Di sisi kiri banyak papan hijau bertuliskan, ‘Hati-Hati Dan Tetap Waspada’, ‘Utamakan Keselamatan Daripada Kecepatan’ untuk mengingatkan para pendaki agar tidak sembrono dan terburu-buru. Disana Gue juga menjumpai beberapa papan yang memberikan nama tanjakan seperti ‘Tanjakan Cihuy Huy’, ‘Tanjakan Ambing’ dan ‘Tanjakan Sakti’. Untuk menapaki setiap tanjakan di sepanjang hutan membutuhkan kesabaran yang ekstra karena medan pendakian disana berupa tanah bebatuan dan tak jarang pula akar pohon yang menjadi pijakan. Saat mulai mendaki memasuki hutan, kami terpecah menjadi 3 bagian. Dede, Lepet dan Gilang jalan lebih dahulu dengan semangat yang membara. Gue, Randy, Ryan, Rara, Wiken, Irfan dan Udin jalan di belakang dengan santai. Dan sweeper adalah Satria, Zhaky dan Leo.

Medan yang kami tempuh banyak yang licin dan tak jarang Gue lihat hasil selorotan pendaki. Kita harus pintar-pintar memilih pijakan dan jalur yang lebih mudah. Pegangan sama akar dan batang pohon, buat Gue pribadi semacem kewajiban untuk mempermudah pendakian. Pemandangan kanan kiri saat mendaki hanyalah rumput, pepohonan tinggi, dedaunan mulai dari hijau muda sampai dengan hijau tua, bebatuan dan tanah kecoklatan. Bener-bener masuk ke dalam hutan. Dalam pendakian kali ini, Gue jalan dengan sangat santai selangkah demi selangkah, Gue lebih banyak mengatur napas biar nggak cepet capek. Tiap kali minum pun cuma seteguk dua teguk hanya untuk membasahi tenggorokan. Ngemil pun kalo perut udah bergejolak.

Kalau Gue udah bener-bener capek, Gue duduk di batang besar yang ada di jalur. Sekedar untuk melepaskan keril sesaat dan ngobrol bareng yang lain. Sepanjang jalan Gue beberapa kali menjumpai tenda yang telah terpasang tapi Gue nggak tau itu pos berapa. Namun tiba-tiba ada pendaki lain yang bertanya kepada seseorang teteh yang sedang turun, “Teh, pos 2 masih jauh?” “Masih lumayan, semangat yah.” Dari sanalah Gue tau bahwa Gue baru menuju pos 2. Selebihnya Gue nggak tau sama sekali udah sampe pos berapa, Gue cuma jalan dan nggak mau nengok ke atas karena bikin mood down buat nanjak. Pendakian pun dilanjutkan kembali hingga akhirnya Gue dan yang lain menyerah karena kelaparan ditambah hujan yang mulai turun. Randy langsung pasang flysheet dan Gue langsung dengan sigap menyiapkan makanan yang bisa dimakan. Kala itu, Gue mengoleskan selai cokelat ke tiap lembaran roti tawar yang Rara bawa. Kemudian roti tersebut dibagikan ke masing-masing yang ada. Seorang minimal makan 2 lembar roti saking kelaperannya dan kita juga membuat teh manis untuk menambah stamina. Lagi asyik duduk sambil makan roti, tiba-tiba Lepet yang sudah berjalan lebih dahulu nyamperin kami dan bilang bahwa Gilang tidur deket pohon dan nggak bisa dibangunin. Randy langsung ngacir ke atas untuk memastikan kondisi Gilang. Gue masih di bawah flysheet membuatkan teh manis dan mengoleskan selai sampai roti habis. Ryan menawarkan teh manis ke pendaki yang sedang melewati flysheet kami. Ngobrol sambil merokok bareng. Begitu Randy kembali dengan menggendong Gilang, semua langsung fokus ke Gilang. Nampaknya Ia kelelahan, masuk angin serta kehujanan. Jadilah Gue nyuru dia buat minum teh manis dan memberikan biskuit untuk segera dimakan. Gue juga langsung ngebuatin bubur instant buat dimakan supaya staminanya kembali pulih.

Kepanikan terhadap Gilang langsung mencair begitu dia makan dengan lahapnya. Ternyata bocah itu kelaparan dan kedinginan. Dede dan Lepet lega seketika begitu melihat Gilang doyan makan. Tidak lama, Satria, Leo dan Zhaky menghampiri kami. Kami tawarkan teh manis dan mengajaknya untuk beristirahat sejenak di bawah flysheet. Hujan pun tak kunjung henti, Satria memutuskan untuk mengajak beberapa dari kami melanjutkan perjalanan supaya cepat mendapatkan lapak untuk membangun tenda. Satria bersama Dede, Lepet, Ryan dan Gilang berjalan kembali melanjutkan perjalanan. Gue dan Rara mengikutinya dari belakang. Saking cepatnya mereka berjalan, Gue dan Rara tertinggal. Akhirnya kami berdua hanya ngikutin jalur yang ada sambil sesekali ketika melihat tenda berteriak, “Satria..Satria..” untuk menemukan tenda. Hasil awalnya nihil, kita berdua tidak menemukan yang lain. Kami melanjutkan perjalanan kembali hanya dengan menggunakan insting. Jalanan semakin licin dan becek karena hujan yang tak kunjung henti. Sepatu kami basah sampai bagian dalam dan cuma bisa pasrah. Pendakian kali ini lebih berat dari sebelumnya. Tanjakannya lebih ekstrim, cukup tinggi dan licin. Kami harus melewati beberapa batang sambil menunduk, melangkah panjang dengan tetap berpijak pada akar pohon. Ada satu momen dimana kami berdua tidak tau jalur mana yang harus diambil sampai akhirnya kami menunggu pendaki lain lewat dan mengikutinya.

IMG_6802

Pendaki tersebut juga menawarkan minum ke kami ketika beristirahat sejenak bersama. Perjalanan kami lanjutkan kami dengan perlahan sambil berteriak “Satria…Satriaa..” ketika melihat tenda yang terpasang. Tapi tidak ada respon. Gue sempet ngomong ke Rara, “Ini kita jalan terus aja lah ya. Mana udah gelap juga, nggak keliatan mana Satria”, Rara yang mulai pucat hanya mengangguk. Begitu jalan setelah istirahat, tiba-tiba Ryan manggil dari balik pohon, “Mbak Eaa, disini Mbak tendanya”. Gue langsung nengok ke kanan dan Puji Tuhan ketemu sama mereka. Pas Gue sampe, tenda kami belum terbangun dengan sempurna, Satria dan Lepet masih sibuk merapihkan tenda. Gue numpang berteduh di tenda sebelahnya. Mereka nyuruh Gue dan Rara untuk masuk ke dalam tenda mereka, cuma Gue menolak karena semua yang melekat di badan Gue basah semua. Gue dan Rara nunggu di depan tenda, sementara Gilang sudah diamankan di dalam tenda itu.

Begitu tenda terpasang, Satria menyuruh Gue masuk ke dalam, bongkal keril untuk ambil matras dan berganti pakaian. Gue dan Rara langsung ganti pakaian sementara para lelaki masih diluar tenda kehujanan. Tenda terpasang diatas tanah yang miring, barang-barang melorot ke bawah dan Gue pun berganti pakaian dengan susah payah. Begitu Gue selesai berganti pakaian, Gilang masuk ke dalam tenda begitu juga yang lainnya. Dan ternyata, pakaian Dede, Lepet dan Ryan ada di keril yang dibawa oleh rombongan Randy. Satria memaksa mereka untuk melepaskan baju basah dari badannya. Akhirnya Lepet dipinjamkan baju oleh Satria, sedangkan Dede menggunakan sarung dan Ryan pake sleeping bag buat nutupin badannya. Gue melihat Gilang kedinginan dan baju dia yang lain basah. Akhirnya, Gilang gua suruh untuk pake kaos dobel punya Gue. Kami bertujuh duduk diam di dalam tenda sembari berharap Randy, dkk menyusul. Tapi nyatanya mereka tidak muncul sama sekali. Hingga akhirnya ketika jam sudah menunjukan pukul 6 sore, Gue dan Satria memutuskan untuk menyiapkan makan malam. Sayangnya, logistik yang kami bawa mulai dari beras, sayuran, minyak, sosis, nugget, semuanya ada di keril Leo. Akhirnya, kita memutuskan untuk bikin teh manis terlebih dahulu. Saat masak air dan mencelupkan teh ke dalamnya, barulah kami sadar bahwa gula pun ada di keril Randy. Alhasil, kami bikin teh manis madu. Satria nyuruh semuanya untuk minum teh hangat dulu sembari bertanya logistik apa yang terbawa. Dan logistik yang ada hanya sop, sarden ikan balado, tempe, kopi, teh serta cabe bawang. Gue langsung nyiangin sop untuk makan malam kami. Sementara, Gue, Rara dan Satria diluar, yang lain di dalam tenda menghangatkan badan. Mulai menyelimuti badan mereka dengan sleeping bag yang kami bawa dan tiba-tiba Gilang muntah di dalam tenda dan meper ke sleeping bag yang sedang mereka dipakai. YAIKS! Walau begitu, dengan sabarnya, Dede dan Lepet ngelapin sleeping bag yang berlumuran itu dan membersihkan tenda. Gue tetap melanjutkan masak sayur sop hingga jadi. Kemudian membaginya ke dalam mangkok kecil untuk dimakan teman-teman. Selesai makan sop dan perut masih laper, ceritanya mau goreng tempe. Tapi karena nggak ada minyak, akhirnya Gue potong tempe menjadi potongan kecil untuk kemudian Gue tumis bareng sarden ikan balado. Kalau lagi laper dan di gunung, apapun yang dimakan rasanya enak.

Begitu selesai masak, Gue langsung bikin jelly buat persiapan summit dan Rara bantuin Gue buat bersihin nesting dan peralatan makan lainnya. Dari sana tiba-tiba perut Gue mules dan pengin pup. Gue bilang ke Satria buat nemenin Gue dan ajarin caranya kalo mau pup di gunung. Akhirnya Satria dan Rara nemenin Gue nyari lapak terus Gue disuru ngegali tanah. Karena tanahnya susah digali, akhirnya Satria bantuin Gue buat ngegali. Sembari nungguin Gue menunaikan tugas, Satria dan Rara ngobrol berduaan di kejauhan. Romantis abis malem-malem ngalor ngidul nggak jelas nungguin Gue. Hahahaha. Thanks anyway you guys!

Lalu kami semua beresin semua peralatan, masukin ke tenda dan bermaksud untuk istirahat buat persiapan summit. Sebenarnya Satria tidak mengizinkan Gue dan Rara untuk summit karena cuaca yang terus menerus hujan ditambah lagi Dede, Lepet, Ryan dan Gilang yang badannya kurang fit. Satria bermaksud buat mendampingi pria-pria. Bahkan Satria sempat bilang bahwa besok pagi jam 9 semua turun demi kesehatan bersama. Gue tetep kekeuh pengin summit dan akhirnya Satria bilang lihat cuaca besok yah semoga bersahabat.

Begitu masuk di dalam tenda, Gue, Rara dan Satria duduk di bagian atas dan mencoba tidur. Tapi nyatanya, pantat kami melorot kebawah karena kemiringan tanah. Alhasil kita ngebanyol bertigaan karena yang lain sudah tidur. Lalu saat Gue mau ambil sleeping bag, ternyata sudah dipake oleh Gilang dan sleeping bag Rara pun dipake sama Ryan. Jadilah kami bertiga pake sleeping bag Satria hanya untuk nutupin kaki. Gue duduk dengan kaki yang ditekuk mencoba tidur sambil menunduk. Tapi hasilnya nihil, Gue gak bisa tidur dan leher Gue sakit. Begitu pun dengan Rara, dia pun sakit leher dan pantatnya terus melorot. Mendengar kerusuhan kami, Dede dan Ryan terbangun. Mereka memutuskan untuk keluar tenda. Dede meminjam kaos Gue yang dipake Gilang dan Ryan keluar dengan menggunakan sarung. Disana Gue baru mulai tidur rebahan dengan kaki yang ditekuk. Sesekali Gue terbangun karena kaki keram, kemudian gue duduk untuk meluruskan kaki. Lalu Gue mencoba tidur lagi dengan badan miring ke kanan dengan kaki yang ditekuk lagi. Kebangun lagi karena tulang pinggang sakit, Gue mengubah kemiringan badan miring ke kiri biar pinggang Gue sakitnya seimbang. Beberapa kali juga Gue bangun karena Rara ngomong lehernya sakit nggak bisa tidur. Terus kebangun lagi karena Rara bilang, “koq nggak pagi-pagi sih.” Gue cuma bisa pasrah dan terus berusaha dengan khusuk buat tidur.

Gue juga kebangun saat Ryan dan Dede masuk ke dalam tenda karena kedinginan. Kembali berbagi lapak buat tidur barengan sama mereka. Ryan tidur dengan posisi duduk berselimutkan sleeping bag merah di depan Gue sedangkan Dede tidur melingkar dengan posisi kepala di kaki gue. Entahlah bagaimana posisi pastinya, Gue udah nggak terlalu memperhatikan hingga akhirnya pagi pun tiba. Gue memutuskan untuk keluar tenda, untuk memberikan lapak ke Dede dan Ryan yang ada di sebelah kanan dan kiri gue buat tidur sambil ngelempengin badan. Gue keluar tenda disusul Satria dan Rara. Rintik hujan masih turun, Gue bilang ke Satria kalo gue mau nanjak sampai sekuatnya Gue, terus Gue akan balik lagi ke tenda. Karena Gue sendiri bingung mau ngapain, gak bisa masak karena nggak ada logistik dan gak bisa tidur karena tenda penuh. Bermodalkan handphone dan power bank di kantong kanan jaket serta crackers dan madu di kantong kiri jaket, Gue mulai nanjak. Gue nanya ke Rara, “Mau ikut nggak?” “Kemana?” “Nanjak aja, aku bosen nggak ngapa-ngapain. Kalo diem pun pasti bakal kedinginan.” Rara pun mengangguk pasrah ikut Gue. Gue mulai menanjak, ngobrol sama orang di tenda sampe akhirnya Gue menemukan tulisan POS IV di sala satu pohon. Gue langsung ngomong ke Rara, “Anjir, si Randy hoax abis. Buktinya ini ada tulisan POS nya.” Dan kita hanya tertawa berdua. “Aduh mbak, laper” celetuk Rara. “Itu makan crackersnya” pinta Gue. Rara mulai makan crackers dan kita duduk istirahat di atas batang pohon yang tumbang.

“Lanjut yuk, mau ikut nggak?”. “Hmmm” Rara berpikir keras mau ikut Gue atau balik ke tenda sendirian. “Kalau mau balik tenda, yauda gakpapa. Aku sendirian aja”. “Yauda deh ikut Mbak, tapi mau sampe mana?” tanya Rara. “Minimal ampe pos 5 lah”. “Yauda deh” tutup Rara. “Oiya, kalo kamu haus bilang yah, nanti kita minta minum sama orang” Rara hanya mengangguk.

Kami kembali menanjak dan sesekali minta minum sama orang yang ada di tenda. Nggak berapa lama, kami menjumpai tulisan POS 5 di pohon. “Lah, koq deket banget pos 4 sama pos 5” kata Gue ke Rara. “Iya juga yah” timpalnya. Beberapa pendaki yang kami lewati bertanya, “mau kemana teh?” dan kita jawabnya, “mau nanjak aja.”  Namun ketika ada 3 orang pendaki yang mau summit berjumpa dengan kami, salah satu diantara mereka langsung ngomong, “summit aja teh, tinggal sejam lagi buat nanjak juga sampe”. Sontak Gue langsung melihat ke arah Rara dan dia senyum seakan memberikan kode bahwa Ia juga setuju untuk summit.

Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan menuju ke pos 6. Medan menuju pos 6 tidak jauh berbeda dengan medan sebelumnya dan jaraknya pun dekat. Namun begitu dari pos 6 menuju pos 7, medan pendakiannya maha dahsyat. Jaraknya yang jauh ditambah dengan tanjakan yang tinggi serta kondisi tanah yang licin memaksa kami untuk memperlambat langkah kaki. Prinsip kami saat itu adalah yang penting sampai dengan selamat karena kita pun tidak dikejar waktu. Berkali-kali, gue dan Rara berhenti untuk istirahat, entah untuk ngemil ataupun minta minuman ke pendaki yang lewat. Tiba-tiba begitu sampai ke pos 7, ada yang meneriakan nama Gue dari belakang, “Mbak Eaa..” dan Gue langsung nyaut, “Iyaa..” “Mas Leo?” orang tersebut diam saja. Gue pikir tuh orang salah panggil nama atau Gue yang salah dengar. Namun begitu gue nengok belakang, Gue ngliat Satria dengan jas merah dan celana polar hitamnya membawa botol air mineral 1,5 liter yang terisi setengah. Begitu menatap mukanya, Satria langsung bilang, “Gila yah kalian, summit kagak bilang-bilang. Nggak bawa minum pula.” “Tadi awalnya emang nggak mau summit, tapi begitu di pos 5 ketemu pendaki yang bilang menuju summit tinggal sejam lagi, yauda deh kita lanjutin. Kalo soal minuman mah tenang aja, bisa minta ke pendaki lain” jelas Gue. “Tapi yah tetep aja, kalo nggak ketemu orang yang mau kasih minum gimana?” lanjut Satria lagi dan Gue cuma diem.

“Yauda ayo lanjut ke puncak, sedikit lagi tinggal 2 belokan terus agak nanjak curam” kata Satria. Saking kuatirnya karena kami tak kunjung balik ke tenda, Satria menemani kami sampai ke puncak. Begitu sampai puncak, Gue ngelihat bangunan tenda memenuhi area. Gue mencoba mencari spot yang bagus buat foto-foto dan Satria menunjukan posisi gunung Ciremai, gunung Guntur dari atas puncak itu. Kemudian Ia juga menjadi private photographer kami. Di puncak pun kami nggak lama, karena hujan turun terus menerus. Sehingga selesai berfoto kami kembali turun menuju tenda. Misi mencapai puncak berhasil. *big grin*

Puncak

 

Gue, Satria dan RaraSetengah jam turun ke bawah menuju tenda kami berjumpa dengan rombongan Randy, Gilang, Leo, Irfan dan Udin di sekitaran pos 6 lewat. Terus kami sempet berbincang sejenak di tengah jalan sembari istirahat. “Kalian udah naik?” tanya Leo kepada kami bertiga. “Masih jauh nggak?” “Iya, udah naik. Kalo turun sih butuh waktu setengah jam. Kalo naik ya kira-kira sendiri aja” jawab Gue, sedangkan Rara Cuma tersenyum karena telah berhasil mencapai puncak lebih dulu. “Di tenda ada siapa?” tanya Satria. “Di tenda kalian ada Dede dan Lepet, kalo di tenda gue ada Wiken” jawab Randy. “Mereka bilang mbak Ea summit, makanya kita jadinya summit juga deh” lanjutnya. “Eh, si Zhaky udah turun ke pemancar duluan ya. Kayanya dia langsung pulang duluan juga deh” jelas Leo. “Lah kenap a?” tanya Gue. “Iya dia pengin pup dan badannya juga lagi gak fit” jawab Leo. “Kenpa gak pup di hutan aja, aku semalem di hutan koq”. “Gue tadi pagi juga” timpal Satria.“Dia badannya udah gak fit dari kemarin, makanya pengin cepet pulang juga” jelas Leo. “Baiklah. Yasuda kalian semangat yah semuanya. Eh ini Gilang emang kuat ke puncak?”. “Kuat dong. Kalo nggak kuat nanti minta gendong om Randy” jawab Gilang. “Loh koq kamu pake sendal jepit, Lang” tanya Rara. “Sepatunya hilang nggak tau kemana” jawab Randy. “Yasuda, ketemu di pemancar aja yah. Abis ini kita mau packing buat turun” pinta Satria. “Oke”

Gue, Rara dan Satria melanjutkan perjalanan kembali menuju tenda. Waktu yang dibutuhkan setengah dari waktu menuju puncak, satu jam saja. Begitu tiba di tenda, beberapa barang sudah di packing oleh Dede dan Lepet. Gue dan Rara langsung packing keril dan Satria bebenah semua peralatan mulai dari sleeping bag, nesting, kompor sampe ke tenda dibantu oleh Dede dan Lepet. Sementara mereka bertiga packing, Gue dan Rara foto-foto di sekitar tenda. Dan begitu semuanya siap, kami segera turun menuju pos pemancar.

Ketika sampe di pos 3 tempat rombongan Randy nge-camp, kami sempet teriak teriak manggil nama Wiken, tapi hasilnya nihil nggak ada yang nyahut. Kami terus melanjutkan perjalanan. Karena kami sudah tau bahwa medan pos 3 ke pos 2 berat, jadi kami jalannya lebih berhati-hati dan pelan-pelan. Hujan yang mengguyur Cikuray ngebuat tanah basah dan licin. Belum lagi kita harus menuruni akar demi akar pohon. Pegangan sama batang pohon dan batu, merosot dan sedikit merangkak mah hal biasa. Dan akhirnya kami pun bisa tiba di pos pemancar setelah 3 jam trekking. Sungguh luar biasa. Medan pendakiannya bikin speechless dan kalau ada yang nanya, Ea mau nggak ke Cikuray lagi? Hmmm….rasa-rasanya tidak tapi.. lebih baik kalian cobain sendiri deh.

Tiba di pos pemancar sekitar pukul 4 sore, kita langsung menemui Wiken yang ternyata sudah turun lebih dahulu karena bosan sendirian di tenda. Kemudian kami langsung pesan kupat tahu dan nasi rames ke Ibu yang berjualan di pos pemancar. Saking kelaperannya nggak ketemu nasi, semua langsung hening begitu makan. Hahahaha. Sembari menunggu rombongan Randy, Gue memutuskan untuk mandi. Begitupun dengan Rara dan Satria. Rombongan Randy tiba di pos pemancar sekitar pukul 6 petang dan kemudian kami saling bercerita mulai dari henpon hipo, manusia primitif, kehangatan pria dalam tenda sampai bahas gondal gandul sempak. Biarlah di part terakhir ini hanya kami bertiga belas yang mengerti.

Terima kasih Cikuray telah mengajarkan kami arti kebersamaan, mengontrol diri dan mensyukuri keindahan alam ciptaan Tuhan. See you when I see you.

view

063

summit activity

 Photo taken by us 🙂

 

You may also like...

1 Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Web Design BangladeshWeb Design BangladeshMymensingh