Kawah Ijen
Sabtu, 4 Oktober 2014 Pk 00:00, saya bersama ketiga teman: Puthut, Pepi dan Yohan memulai perjalanan dari terminal kargo bandara Juanda, Sidoarjo. Mengapa? Karena saya harus menuntaskan pekerjaan saya pada hari itu sebelum berangkat.
“Gua duduk di belakang aja ya, mau tidur” pinta saya pada Pepi. Kemudian Pepi segera pindah ke kursi penumpang depan untuk menemani Puthut yang menyetir. Sedangkan Yohan, asyik sendiri di jok baris ketiga. Tidak butuh waktu lama untuk saya terlelap, setelah mengenakan bantal leher dan mengatur seat recliner sedikit kebelakang, saya langsung terlelap.
Pk. 04:30 saya terbangun dan melihat sekitar, “ini dimana sih?” tanya saya pada ketiga teman saya. “Mau jemput Oshin dulu yah, sekarang udah di Situbondo. “Oh, okay.” timpal saya cepat. Saya melihat ke kanan dan ke kiri namun hanya kegelapan yang saya temui. Saya lihat ke bagian depan dan hanya berhasil melihat jalanan lurus diterangi lampu besar mobil. Pepi menelepon Oshin untuk minta ditunjukan arah dari tempat kami berada saat itu. Lalu tibalah kami, di depan pintu pagar rumah Oshin setelah dipandu olehnya saat bertelepon dengan Pepi.
“Tunggu sebentar ya, gue mandi dulu. Kalian masuk dulu aja ke dalam rumah” pinta Pepi. Kami berempat turun dari mobil dan masuk ke dalam ruang tamu rumah Oshin. Duduk di sofa hijaunya, seakan menemukan king koil spring bed buat pantat. Ibu Oshin keluar dari balik gorden sambil membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat 3 cangkir kopi dan segelas jahe. Saya diminta teman-teman untuk minum jahe tersebut supaya badannya terasa hangat dan berenergi. Kemudian saya segera menghabiskan air jahe tersebut sambil ngobrol dengan Ibu Oshin. Begitu selesai mandi, Oshin segera menemui kami di ruang tamu dan kamipun segera berangkat menuju Ijen.
Oshin sebagai guide, mengarahkan jalan yang harus kami tempuh menuju Ijen. Kurang lebih 2,5 jam melewati jalanan berliku serta berlubang di beberapa titik dan menanjak yang dihimpit pepohonan hijau membuat perjalanan kami (saya, khususnya) menjadi lebih menyenangkan. Maklum, biasa hidup di kota penuh dengan gedung tinggi dan macetnya jalanan.
Setibanya di parkiran Ijen, saya segera menuju ke toilet untuk bersih-bersih badan dan langsung sarapan indomie di warung. Lalu perjalanan dimulai. Berdasarkan papan petunjuk, untuk menuju kawah Ijen, perjalanan yang harus ditempuh adalah 3 Km.
Di tengah perjalanan menuju kawah, banyak saya temukan kuli angkut belerang dan sedikit banyak berbincang dengan mereka. Upah yang mereka terima untuk mengangkut belerang adalah Rp. 900/kg dan dalam sehari maksimal mereka 2x bolak balik untuk mengangkut sekitar 50-90kg untuk sekali angkut. Murah bukan? Mungkin saya menyebutnya dengan kata “miris”, karena dikatakan juga bahwa begitu sampai pabrik, belerang tersebut biasanya dijual Rp.5.000/kg. Belerang yang mereka angkut biasanya
dipakai untuk pemutih gula dan bahan make up. So, yang sering pake make up, coba di cek apakah mengandung belerang atau tidak :p
Melanjutkan perjalanan menuju kawah melewati jalanan berliku, menanjak dan menikung tajam serta berpasir cukup menguras energi. Beberapa kali saya makan choki-choki dan madu untuk menjaga stamina, serta duduk sejenak di pinggiran untuk sekedar mengatur napas hingga akhirnya saya tiba di sebuah kantin yang jaraknya 2Km dari bawah. Disana saya sempat beli keripik singkong untuk ngemil sambil menunggu Pepi dan Yohan. Sedangkan Puthut dan Oshin, masih berada jauh dibelakang.
Ngobrol sejenak dengan penjaga warung yang sembari sibuk menuliskan jumlah belerang yang diangkut oleh masing-masing kuli setelah ditimbang di atas sebuah bon putih, membuat pikiran saya melayang. Nggak kebayang aja, tiap hari kerjanya harus membawa belerang yang segitu beratnya di pundak. Apa kabar yah pundak mereka?
Tiba-tiba Pepi dan Yohan datang menghampiri saya di dalam kantin, lalu mereka beristirahat sejenak sambil meluruskan kedua kakinya dan minum minuman pengganti ion tubuh.
Sekitar 10 menit berlalu, kemudian kami kembali melanjutkan perjalan yang sisa 1Km lagi. Dimana berdasarkan info yang kami dapat, masih terdapat 300m jalanan menanjak dan sisanya barulah jalanan datar. Oke, mulai mengumpulkan motivasi kembali sambil berfoto sejenak dibawah pohon.
langkah demi langkah diayunkan menuju kawah. Menaiki anak tangga, menanjak sembari membungkukan badan dengan sedikit tergopoh akhirnya kami menemui pemandangan yang menyejukan mata. Dari kejauhan tampak pegunungan dengan hamparan hijau di seluruh bagian bawah gunung. Langit pun biru sempurna dengan awan putih yang menghiasi. Belum, perjalanan belum selesai. Masih 800m lagi. Seorang kuli angkut menghampiri kami bertiga, menemani kami berjalan sambil menawarkan jasa guide menuju ke tempat pengeboran belerang. Tawaran harga dibuka dengan 150rb untuk bertiga. Kami pun mulai menawar dengan harga 50rb bertiga. Sang kuli kembali menawar dengan 100rb bertiga dan kami tetap kekeuh 50 bertiga. Akhirnya dia menyerah di harga 60rb untuk bertiga dan kami deal. Jalanan datar pun kami temui hingga akhirnya kami melihat sebuah kawah yang tertutup asap tebal. Angin bertiup kencang menerbangkan pasir-pasir yang ada di sekitar. Kami menunggu sejenak berharap asap tebal bergerak menjauhi kawah sehingga kami bisa melihat kawah yang sesungguhnya. Alam pun bersahabat. Setelah menunggu beberapa saat sembari di terpa angin kencang, asap tebal pun bergerak dan kawah terlihat sempurna.
Sempat kami berfoto beberapa kali, kemudian mulailah mengikuti arahan dari sang guide. Saya dan Yohan mengikutinya dan Pepi memutuskan untuk tidak jadi turun ke bawah karena pernapasannya tidak mendukung. Pepi merasa sesak karena mencium aroma belerang. Saya, Yohan dan sang guide mulai menuruni anak tangga yang berbatuan perlahan lahan, sambil sesekali berpegangan pada batu besar. Telapak kaki dan lutut mulai berasa lemas. Namun, kami tidak putus asa. Apalagi setelah melihat pemandangan yang dibawah ini, rasanya sebentar lagi kami akan mencapai tujuan, karena sudah terlihat warna kuningnya!
Ini sangat memotivasi kami untuk meneruskan perjalanan. Kami terus melanjutkan perjalanan hingga tempat pengambilan belerang yang bernuansa kuning. Saya melihat dari kejauhan ada pipa-pipa hitam di tengah warna kuning. Si guide cerita kalau pipa tersebut mengeluarkan belerang yang panas. Saya sebenarnya masih belum paham apa yang dimaksud, hanya saja karena saat itu bau belerang yang sangat pekat menghampiri saya, akhirnya saya lebih memilih untuk lari menghindari asap. Sempat 2x terhirup asap belerang itu dan rasanya sesak bukan kepalang. Sempet berpikir pengin pingsan, tapi saya mencoba untuk bernapas cepat.
Begitu asap menghilang, sang guide menuju ke pipa tersebut untuk mengambil belerang. Dia menunjukan kepada kami bahwa belerang yang baru diambil memiliki warna kuning dan kuning menyala. Belerang yang diambil benar-benar masih hangat. Saya menyempatkan diri untuk berfoto di sekitar sana dan begitu sedang pose cantik, asap belerang kembali menghampiri kami. Jadilah kami lari-larian nggak karuan menghindari asap tersebut. Benar-benar memorable experience. hvft.
Disana kami nggak sanggup berlama-lama, dada rasanya sesak. Kami segera memutuskan untuk kembali ke atas kawah. Dengan kondisi fisik yang rasanya lelah tersisa 10% kami mulai menanjak kembali melewati bebatuan-bebatuan yang ada. Sering kali kami salah jalan, saking lelahnya kami melihat semua batu sama saja, bisa kami lewati. Akhirnya sang guide berjalan paling depan. Beberapa kali kami minta berhenti untuk sekedar menegak air ataupun makan madu. Betis, lutut dan telapak kaki sudah tidak bisa diajak kerja sama. Namun, asap belerang memaksa kami untuk segera naik karena kami sudah tidak kuat menghirup asap tersebut.
Sampai di tangga, kami berjumpa dengan Puthut dan Oshin. Mereka heran sama kami yang niat untuk turun ke bawah. “Gila ya kalian, ngapain sih ke bawah, asapnya tebel banget dan bau belerangnya masyaAllah” seru Puthut. Saya yang sudah lelah cuma bilang, “penasaran”, sementara Yohan hanya diam. Lalu kami berempat menyempatkan diri untuk foto bersama dengan cara minta tolong sama si kuli untuk mengambil foto kami berempat. Sampai di atas, kami kembali foto bersama-sama, kecuali Pepi. Karena Pepi menunggu kami di kantin. Oh ya, tak lupa saya membayar si kuli, harusnya kami hanya membayar 40rb karena cuma berdua yang turun, tapi kami memutuskan untuk memberikan 70rb karena Ia sangat berjasa sekali 🙂
Kembali menuruni jalur menuju kantin, saya melihat banyak belerang yang ada didalam keranjang yang siap diangkut oleh si kuli, Saya langsung membayangkan mulai dari si Kuli megambil di bawah, memikul ke atas melewati bebatuan dan asap tebal, ditambah lagi harus jalan 3km menuju tempat penyerahan belerang tersebut. Berapa besar tenaga yang harus dikeluarkan? Saya cuma bisa bersyukur membayangi hal tersebut.
Menuruni kawah bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi dengan medan yang bergelombang naik turun dan berpasir. Rasanya telapak dan lutut lemas lunglai. Umur nggak bisa bohong sih, stamina di umur saya sekarang mulai kendur apalagi tidak pernah olahraga, yasalam.
Sampai di kantin, kami berlima istrahat sejenak. Saya tiduran di kursi kayu panjang sambil makan keripik singkong. Ada yang merokok, makan cokelat ada juga yang cuma minum air putih. Kami sembari bercerita tentang kegopohannya masing-masing. Dari sana kami melanjutkan perjalanan untuk turun ke parkiran. Waktu itu sekitar pukul 11.30 siang. Udara siang itu dingin namun teriknya matahari sangat terasa. Kami turun dengan bantuan tongkat. Benar-benar harus hati-hati untuk menuruni jalur trekkingnya karena seringkali banyak yang terpeleset karena jalanan yang berpasir. Tapi tidak untuk Oshin yang suda sering bolak balik Ijen, melihat dia turun rasanya enak banget kaya jalan biasa. Sedangkan pada saat saya mencoba berjalan biasa seperti Oshin, yang ada terpeleset hampir jatuh.
Pelan-pelan saya melangkah dengan bantuan tongkat, akhirnya sampai saya dan yang lain di tempat parkiran. Oshin pun mengajak kami untuk berendam di kolam permandian air hangat Blawan dekat Ijen. Rileks.