Kisah Pendakian Semeru
Tahun 2013 merupakan tahun dimana masyarakat Indonesia khususnya anak muda atau yang berjiwa muda sedang demam film 5 CM. Film ini mengisahkan perjalanan lima orang sahabat yang memiliki impian untuk mengibarkan sang saka merah putih di puncak tertinggi Jawa, di puncak Mahameru pada tanggal 17 Agustus. Segala rintangan mereka hadapi demi impian yang ditaruh 5cm dari depan kening. Film inilah yang membuat Yan dan Said mengajak saya untuk mendaki ke Mahameru di tahun tersebut padahal mereka berdua belum pernah mendaki sama sekali. Sebagai teman, saya mengiyakan ajakan mereka dan kami berangkat setelah lebaran kedua.
Kami berangkat menuju kota Malang dan banyak menjumpai pendaki yang satu tujuan begitu sampai disana. Perjalanan dilanjutkan menuju pasar Tumpang dengan menaiki angkot yang diisi lebih dari 8 orang ditambah dengan keril-keril yang segede kulkas satu pintu. Kami tiba di Pasar Tumpang sekitar pukul 10.00 dan segera beristirahat sejenak menghilangkan lelah. Saya menyeruput teh manis hangat yang dibuatkan oleh seorang Ibu di warung dan kemudian Mbak Nur — penyedia angkutan menuju Ranu Pane – bertanya pada saya dengan logat Jawa yang medok, “arep mangkat saiki apa mengko?”. Lalu saya bertanya pada Yan dan Said apakah mereka mau jalan sekarang atau nanti, mereka berdua pun sepakat untuk melanjutkan perjalanan sekarang dengan alasan biar cepat sampai.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Ranu Pane dengan menaiki truk yang disediakan oleh Mbak Nur dan tiba disana pukul 11.30. Saya segera menuju pos pendaftaran untuk mengurus Simaksi, sementara Yan dan Said memesankan makan siang untuk kami bertiga. Selesai makan, kira-kira pukul 13.00 kami mulai trekking dengan stamina yang full dan semangat yang seakan tak pernah padam. Yan dan Said berjalan dengan gagahnya meninggalkan saya bersama pendaki lain yang baru dikenal saat di Ranu Pane. Namun belum jauh dari pintu gerbang Semeru, Yan dan Said berhenti dengan napas yang terengah-engah. Saya menghampirinya dan mereka minta break. Lalu saya bilang, “10 menit lagi nyampe pos 1, breyy”, “serius mas?” tanya Yan dengan mata yang terbelalak. “Seriussss!” jawab saya cepat. Lalu si Yan berjalan sendiri meninggalkan saya dan Said. Melihat hal itu, saya mengajak Said untuk melanjutkan perjalanan. “Ayo breyyy, jalan lagi. Selow aja jalannya, nggak usah buru-buru tapi stabil atur nafas pelan biar nggak cepet capek”. Akhirnya Said pun ikut saya melanjutkan perjalanan. Sepuluh menit berjalan, Said kembali bertanya, “udah 10 menit nih mas, koq masih belum sampe pos 1?” “Itu deket koq, setelah belokan langsung sampe pos 1” jawab saya sambil menunjuk arah belokan di depan.
Begitu tiba di pos 1, saya menjumpai Yan sedang duduk sambil memejamkan mata dan Said segera duduk ngelempengin kaki di jalur trekking sehingga saya langsung menyuruh Said untuk duduk di pinggir supaya tidak menghalangi orang lewat. Saya sendiri langsung menghampiri pendaki sepuh yang sedang beristirahat, menghisap sebatang rokok sambil bercengkrama dengan meraka. Sekitar 30 menit saya beristirahat, lalu saya pamit pada pendaki lain untuk melanjutkan perjalanan. Lima belas menit berjalan, Said menyerah dan minta kembali ke basecamp Ranu Pane. Saya berusaha membujuk dan merayu Said untuk melanjutkan perjalanan, “pelan-pelan aja breeyyy jalannya, yang penting sampe ke Ranu Kumbolo, mau jam berapa pun kita sampai sana nggak jadi malasah”. Said pun kembali melangkahkan kakinya dan si Yan sudah jauh meninggalkan kami. Begitu sampai di pos 2, saya tidak melihat Yan, sepertinya ia sudah melanjutkan perjalanan menuju pos 3. Saya mengajak Said untuk memasak makanan guna memulihkan staminanya kembali. Selesai makan, perjalanan kami lanjutkan kembali. Di pertengahan perjalanan menuju pos 3, saya melihat muka Said mulai pucat dan badannya mulai drop. Dia pun nggak mau melanjutkan perjalanan, akhirnya saya memutuskan untuk kembali beristirahat kurang lebih 30 menit. Selesai beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Baru sekitar 100 meter berjalan, Said kembali mengeluh, “kapok mas, turun aja yuk mas balik ke basecamp” “lah, tapi kan si Yan udah di pos 3 nungguin kita, ayo tanggung bentar lagi sampe” timpal saya. Tak lama kemudian, Yan menjumpai kami di bawah dan membujuk Said untuk melanjutkan perjalanan dengan kompensasi kerilnya dibawain sama Yan.
Begitu sampai di pos 3, Said langsung tidur di atas tanah lapang tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Kepalanya penuh tanah ditambah lagi dengan mukanya yang pucat pasih membuat saya kuatir takut dia kenapa napa. Lalu saya berdiskusi dengan Yan, apakah akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Di akhir didapati keputusan untuk melanjutkan perjalanan dan saya menyuruh Yan untuk melanjutkan perjalanan bersama dengan tim dari UPN, Jogja. 15 menit Yan berjalan, saya dan Said menyusul mereka dan mendapati mereka sedang beristirahat juga. Akhirnya saya mengajak mereka semua untuk melanjutkan perjalanan menuju pos 4, Ranu Kumbolo.
Disana, kami mencari lahan untuk mendirikan tenda. Setelah mendapati lapak, saya membongkar keril, mengambil tenda dan menyuruh Said masak air untuk membuat kopi. Tapi tiba-tiba Said menimpali, “ngapain masak air, mas? Barusan ada yang teriak kopii kopiii, pop mie pop mie, nanti beli aja” “lah, mabok lu breyyyy, mana ada yang jualan disini” kata saya sambil tertawa terbahak-bahak. “Enggak mas, beneran! Entar lewat lagi deh tukang jualannya” lanjut Said. Saya tidak menghiraukan dan lanjut memasang tenda. Setelah tenda berdiri, saya segera masak untuk makan malam kami dilanjutkan dengan berdiskusi tentang kelanjutan perjalanan kami. Si Yan bilang, “udah lah mas, kita di Rakum aja. Mau 4 hari atau 5 hari disini, gue nggakpapa. Gua nyerah mas, aseli.” “Yasuda kalau begitu, berarti kita cukup sampe Ranu Kumbolo aja yah, gausa ke Kalimati, sekarang pada istirahat biar besok tenaganya pulih lagi.”
Keesokan paginya, saya minta Yan dan Said untuk packing dan Said bertanya, “mau kemana lagi mas?” “Kita ke Kalimati coy” “Lah, kan semalem katanya nggak ke Kalimati” kata Yan, “tanggung coy, seenggaknya walopun nggak nyampe puncak kita bisa lihat Kalimati. Jalannya selow aja brey gausa buru-buru, oke?” jawab saya. Yan dan Said pun akhirnya nurut, segera packing dan kami melanjutkan perjalanan. Begitu menuju ke tanjakan cinta, Said bilang ke saya, “Mas, gue nggak mau nengok ke belakang biar bisa dapetin Pevita Pearce sama Kajool” “terserah elu breyyy mau dapetin siapa aja juga boleh” timpal saya.
Konon, ada dua sejoli yang sudah bertunangan dan melakukan pendakian. Saat lewat tanjakan cinta, sang pria jalan lebih dahulu dan tiba di atas bukit tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Sedangkan sang wanita, keletihan hingga jatuh terguling dan meninggal dunia. Kisah itulah yang membuat mitos beredar bahwa pendaki yang memikirkan pasangannya dan berhasil melewati tanjakan cinta tanpa menoleh ke belakang, akan berjodoh dan cintanya akan abadi. Sebaliknya kalau di tengah jalan ia menolah ke beakang, hubungan percintaan mereka konon akan putus.
Ditengah perjalanan, Said dan Yan langsung menghadap ke danau dan duduk menghadap ke danau Ranu Kumbolo yang luar biasa cantik. Lalu saya menegur mereka, “katanya mau dapetin Pevita Pearce dan Kajool, ngapa malah nengok ke belakang?” “Bodo amat dah mas, mau Pevita Pearce keq, Kajool keq, kalo engap mah engap aja mas” kata Said. “Keliatannya aja gampang nggak nengok belakang, tapi kenyataannya berat ye” lanjut Yan. Selesai menikmati indahnya danau Ranu Kumbolo, kami melanjutkan perjalanan sampai diatas tanjakan Cinta. Kami ngopi-ngopi cantik sambil menikmati pemandangan Ranu Kumbolo beserta Oro-Oro Ombo – padang savana yang dikelilingi perbukitan — yang membuat mereka takjub. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Yan dan Said mengambil foto-foto biar dibilang anak gaul saat melanjutkan perjalanan menuju Kalimati. Setibanya di Jambangan, kami melihat jelas kokohnya gunung Semeru. Yan dan Said hanya bisa menggelengkan kepalanya dan bertanya, “kita bakalan ngelewatin jalur itu mas?” “iya” jawab saya. Kami kembali melanjutkan perjalanan kurang lebih 15 menit untuk tiba di Jambangan. Disana, saya mencari lapak lagi untuk mendirikan tenda dan akhirnya saya mendirikan tenda di samping pendaki Bengkulu dan pendaki Surabaya lalu saya masak untuk makan malam. Yan dan Said mengikuti pendaki Surabaya untuk mengambil air di sumber mani.
Ketika masakan matang, Said dan Yan belum juga kembali dari mengambil air. Saya pun mulai kuatir karena hujan mulai turun. Saya ke tenda pendaki Surabaya dan bertanya,
“cak, koncomu balik drurung?”
“durung cuk”
“wah kemana ya mereka? Koq belum balik?”
“mungkin lagi neduh atau ke dolly, cak” jawab mereka sambil tertawa.
“Yowes cak, aku balik tenda dulu mau beres-beres dan siapin minuman hangat buat mereka”
Nggak lama setelah saya membuatkan minuman hangat, Said dan Yan tiba dan segera masuk ke dalam tenda sambil kedinginan. Walupun mereka sudah mengenakan jaket sampai 3 lapis, masih aja mereka ngomong “dingin euy”. Sedangkan saya sendiri disuruh pake sarung dan sleeping bag. Sekitar pukul delapan malam, saya bertanya pada mereka, “pada mau summit gak?” “enggak” mereka jawab serentak. “gue mau tidur aja ah mas, capek banget” jawab Said. “Yaudah kalau nggak mau summit, ayo kita tidur.”
Jam sebelas malam, saya bangun untuk menyiapkan persiapan summit dan saya coba membangunkan mereka. Namun mereka tetap tidak mau summit, akhirnya saya memutuskan untuk summit sendiri dan minta ijin untuk bergabung dengan pendaki dari Bengkulu. Kita start menuju Kalimati pukul 00.30 untuk menuju Mahameru. Tapi baru jalan sekitar 45 menit, Tim SAR dan Koppasus berlari sambil teriak, “turun.. turuuunn.. ada badai. Sayangi nyawa kalian. AYOOO TURUUUNNN.” Akhirnya kami pun nurut dan kembali turun. Setibanya di tenda, hujan langsung turun dengan derasnya setelah hujan angin yang disusul kabut. “Untung tadi nggak dilanjutin, kalo dilanjutin saya nggak pulang ini mah” kata saya dalam hati. Saya pun lanjut istirahat hingga pagi.
Pagi itu cuaca sangat cerah. “Sungguh indahnya kau Mahameru yang menyimpan berjuta misteri” gumam saya dalam hati. Saya kemudian memasak dan memperhatikan kelakuan dua teman saya yang berjemur bak di pantai sambil berteriak, “mas, sini mas, hangat loh.” “hangatan di Dolly, cak!” seru pendaki Surabaya sambil tertawa. Kami sarapan dan bersih-bersih, lalu packing utnuk melanjutkan perjalanan kembali menuju Ranu Kumbolo. Ketika tiba di Jambangan, si Yan dan Said minta difotoin. Saya menjadi private photographer buat mereka selama disana. Selesai foto, si Yan bilang bahwa dia mau pipis, segeralah dia menuju semak-semak dan bersembunyi dibalik pohon. Sekembalinya dari semak, si Yan bilang, “Sialan, gue kena ranjau nih mas. Bau banget, mas.” Serentak saya dan pendaki lain yang sedang beristirahat terbahak mendengar ucapannya. Ada pula yang nyeletuk, “oleh-oleh dari Semeru tuh!”.
Kami melanjutkan perjalanan dengan langkah yang sangat cepat menuju Ranu Kumbolo. Namun, begitu sampai di Cemoro Kandang kami beristirahat sampe tertidur dengan pulasnya karena anginnya yang sepoy di tengah teriknya matahari. Terbangun dari tidur, kami kembali melanjutkan perjalanan ke Ranu Kumbolo sekitar pukul 14.45. Sesampainya di Rakum, kami kembali mendirikan tenda dan masak. Lalu, saya mencoba mencari kayu untuk membuat api unggun pada malam harinya. Saat mencari kayu, saya berjumpa dengan pendaki Jakarta yang tinggal di Matraman dan kami ngobrol. Ternyata pendaki tersebut baru mau nanjak keesokan harinya. Selesai mencari kayu bakar, saya kembali ke tenda meninggalkan pendaki tersebut yang masih mencari kayu bakar.
Malam pun tiba dan kami sudah selesai makan malam. Saya keluar tenda untuk membuat api unggun dan duduk di dekat situ untuk menghangatkan tubuh. “Mas, numpang ngangetin badan juga yah” pinta seorang pendaki yang berasal dari Jogja. “Monggo mas” jawab saya. Pendaki Jogja datang ke Semeru bersama rombongan sebanyak 12 orang, namun berasal dari daerah yang berbda-beda. Dan kami mengobrol bersama sampai pukul 23.30 dan saya pamit untuk istirahat masuk ke dalam tenda. Begitu masuk ke dalam tenda, saya melihat Yan dan Said yang sudah tertidur dengan pulasnya di dalam sleeping bag dan saya pun bergabung dengan mereka untuk istirahat.
Pagi pun tiba, saya bangunkan Yan dan Said untuk mencari air dan saya mulai masak. Begitu saya lihat ke luar tenda, saya bingung mengapa ramai sekali. Saya diam sejenak dan baru menyadari bahwa hari itu tanggal 17 Agustus. Selesai sarapan, kami bergabung dengan mereka untuk mengikuti upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sungguh penuh hikmad dan kebersamaan sangat kental terasa. “Pengalaman yang luar biasa nih mas buat gue. Makasi yah udah ngajak gue dan ngajarin kebersamaan. Pokoknya top banget, mas” kata Said pada saya. “Sama-sama coy” jawab saya cepat. Selesai upacara bendera, kami packing dan seperti biasa saya diminta untuk mengambil foto buat Yan dan Said dengan background Ranu Kumbolo.
Selesai berfoto, kami melanjutkan perjalanan ke Ranu Pane. Setibanya disana kami mendapati truk yang hendak menuju ke pasar Tumpang dan kebetulan banget kurang 3 orang lagi untuk berangkat. Saya, Yan dan Said segera naik ke atas truk dan truk langsung berjalan. Sayangnya baru 30 menit berjalan, as truk itu patah sehingga ban belakang mau lepas. Kami semua turun dan menunggu kedatangan mobil pengganti. Selama menunggu ada yang sibuk foto-foto, bikin kopi, duduk terdiam seperti Yan dan Said lakukan, sementara saya sibuk melamun menatap Semeru sambil merokok. Ditengah lamunan, tiba-tiba seorang pendaki dari Banyuwangi menawarkan kopi dan bercerita tentang summit mereka. Saya hanya tersenyum mendengarnya. Tak lama kemudian datanglah mobil pengganti, kami segera menyusun keril dan masuk ke dalam mobil. Tiba di pasar Tumpang sekitar pukul 19.46 kami langsung cari makan, lalu perjalanan kami lanjutkan dengan naik bis dari terminal Malang dan dilanjutkan dengan taxi menuju ke Stasiun Gubeng, sesuai dengan tiket kereta yang kami dapatkan untuk menuju Jakarta.
Ini merupakan kisah Mas Eko @RodaAdventure di tahun 2013