Feels like princess of mountain
Siang hari sekitar pukul 14.00, camping ground Kandang Batu diguyur hujan. Minimnya lapak untuk membangun tenda, membuat gue memutuskan untuk summit bareng Rara yang akan disusul Acil untuk mendampingi kami. Sedangkan Ahan, Suren dan Ayu memutuskan untuk kembali ke basecamp Indonesia Mountain. Lain halnya dengan pasangan suami istri yang baru menikah, Bang Fikar dan Mbak Icha yang memilih untuk menunggu hujan sampai berhenti untuk kemudian membangun tenda hijau berkapasitas 2 orang yang dibawanya.
Saat summit, gue membawa daypack berisikan sarung, baju ganti, raincoat dan cemilan serta sebotol air minum 600 ml. Sedangkan Rara membawa daypack yang berisikan sleeping bag, pakaian, sendal, ponco dan juga sebotol air minum. Kami mulai berjalan menuju pos berikutnya di Kandang Badak. Jalanan kesana masih berupa tangga berbatuan rapi. Kami menjumpai air terjun aliran rendah di sisi kanan dan di sisi kirinya banyak pepohonan tinggi seperti hutan pada umumnya. Kurang lebih 35 menit kami tiba di camp groundKandang Badak. Kami melihat banyak tenda yang terpasang disana dan sebuah bale kayu tempat orang berjualan popmie, rokok, air mineral, seperti warung kopi. Kami melanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya yaitu pos pertigaan. Di pertigaan kami memutuskan untuk belok ke kanan karena mau ke puncak Pangrango, sedangkan jika kami ingin ke puncak Gede, maka kami harus berbelok ke sebelah kiri. Disini kami sudah mulai bertiga karena Acil sudah menyusul dengan membawa keril milik gue yang berisikan sleeping bag, matras, pakaian dan sendal. Kami berencana untuk tektok sore itu, karena gue lagi period.
Perjalanan menuju puncak Pangrango ibarat memasuki hutan tropis dengan banyak pohon tumbang di dalamnya. Ngolong di bawah batang, melompat dan nunduk udah jadi hal yang sangat-sangat biasa. Bahkan gue pribadi berpikiran seakan sedang berada di dalam dunia game temple run. Gue yang sebelumnya jalan beriringan bertiga mulai terpisah beberapa meter dengan Rara dan Acil. Sesekali Acil bilang ke gue kalo pisahnya jangan kejauhan. Jadi tiap kali gue jalan dan nggak bisa lihat mereka dari kejauhan, gue akan berhenti sejenak. Namun, pola seperti itu bikin gue semakin lelah. Akhirnya gue mulai mengalihkan kelelahan gue sembari nyalain musik dari ponsel gue dan lipsync sembari menggerakan badan mengikuti irama musik. Playlist favorit gue berdurasi 41 menit pun sudah terputar sebanyak dua kali dan Acil menyemangati, “Ayo, udah kelihatan tuh langitnya. Kita udah deket.” Karena gue percaya sama Acil yang sering bolak balik gunung, gue tambah semangat untuk melanjutkan perjalanan. Ketika kami beristirahat berbarengan, gue melihat wajah Rara yang pucat pasih dan gue bertanya, “Ra, muka kamu udah pucat tuh. Masih kuat nggak?” “Masih, mbak” jawabnya cepat. Kami kembali melanjutkan perjalanan.
Gue jalan beberapa meter di depan mereka sampai gue bener-bener kecapean dan gue akhirnya memutuskan untuk nanya sama Acil berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk sampai puncak. Acil bilang 15 menit lagi, sedangkan untuk sampai Mandalawangi 25 menit lagi. Gue yang awalnya nggak mau nanya soal waktu tempuh naik gunung karena pernah ditipu sama Randy saat ke Cikuray, akhirnya bertanya juga ke Acil saking udah kelelahannya. Namun, begitu Acil bilang 25 menit lagi, tiba-tiba semangat gue semakin membara. Gue berjalan terus jauh meninggalkan mereka berdua. Hingga akhirnya saat gue sendirian berjalan, gue teriak, “Acil.. Rara..” dan nggak ada tanggapan. Gue berpikir bahwa mereka masih jauh dibawah. Gue nggak kuatir dengan mereka, karena Acil udah terbiasa dan gue yakin dia bisa jagain Rara.
Pas gue liat jam, waktu menunjukan pukul 6 sore dan langit mulai gelap, gue bertanya pada pendaki yang turun. Gue tanya, berapa jam lagi waktu yang dibutuhkan untuk sampai puncak. Mereka bilang sekitar 1,5 – 2 jam lagi. Gue diam tertegun dan berasa ditipu. Dalam hati, gue ngata-ngatain Acil. “Acil bangkek, Acil kampret.” Semenjak itu gue semakin yakin bahwa jangan pernah nanya sama anak gunung yang sedang bareng kita tentang waktu tempuh saat mendaki. Mereka nggak akan memberikan jawaban jujur untuk menyemangati kita. Fakyu Cil.
Gue mulai mengeluarkan headlamp dari tas dan memakainya. Saat awal gue belum menyalakan karena memang jalanan menuju kesana masih terlihat. Namun, saat mata gue mulai tidak bisa membaca arah pita penunjuk, akhirnya gue menyalakan headlamp dan jalan perlahan. Semakin menuju ke puncak, medan yang gue tempuh semakin luar biasa. Pijakan tinggi serta batang yang tumbang membuat gue harus ekstra effort buat berjalan. Ditambah lagi dengan jalanan sempit yang hanya bisa dilewati satu orang dengan gundukan tanah basah di sisi kiri dan kanannya. Bikin gue tambah lama untuk berjalan.
Lagi asiknya berjalan, sekelompok pendaki menghampiri gue dan bilang, “Mbak, temennya tadi titip pesan. Katanya dia masih dibawah ya.” Gue cuma bilang, “Oke, thanks ya.” Dalam hati gue mikir, “lah, memang mereka masih dibelakang gue kan?.” Cuma pikiran itu berubah saat sekelompok lelaki berhasil nyusul gue dan bilang, “Mbak, temennya 2 orang nitip pesan. Katanya mereka balik ke bawah, nggak lanjut naik.” Gue langsung menghentikan langkah dan bertanya, “di bawah sebelah mananya kalian tau nggak?” “Wah, nggak ngerti Mbak. Tadi sih mereka duduk di pohon yang tumbang.” “Kapan kalian ketemu sama mereka?” tanya gue lagi. “Udah jauh banget Mbak, udah daritadi ketemunya.” “Oh gitu, oke deh, thanks ya.” “Mbak-nya, cuma sendirian aja?” “Iyah.” “Yauda bareng aja sama kita Mbak lanjut keatas.” “Tapi tadi, kami janjian tektok” jawab gue. “Bahaya Mbak sendirian, naik aja yuk.” Gue tiba-tiba diem dan hampir saja meneteskan air mata setelah percakapan itu. Pikiran gue kemana-kemana. Kalau gue memutuskan untuk turun, gue nggak tau akan bertemu Acil dan Rara dimana. Di tengah hutan kah? Di Kandang Badak kah? Di Kandang Batu kah? Atau di basecamp IM? Itupun kalo gue nggak nyasar, kalo gue nyasar gimana? Gue tersesat di tengah hutan gitu? Tapi kalo gue nanjak, gue mau istirahat dimana? Gue nggak bawa tenda dan sleeping bag. Pikiran gue kalut banget. Sampe akhirnya gue inget kotbah pendeta pas Persekutuan Doa di kantor hari Jumatnya. Saat itu pendetanya mengingatkan bahwa dikala kita sendiri, sedang dalam tekanan ataupun sedang berada di posisi tertinggi, tetap ingetlah sama Tuhan dan jangan mengandalkan diri sendiri. Gue langsung terdiam, tarik napas panjang tiga kali dan ngomong dalam hati, “Tuhan, gue kudu gimana ini?”. Bagaikan dapat petunjuk, gue langsung memutuskan untuk naik ke puncak.
Setelah gue memutuskan untuk naik ke puncak, gue mulai merasa takut karena gelap dan nggak bisa nemuin pita petunjuk tapi tetap masih berasa sedih karena sendirian. Akhirnya gue nunggu pendaki yang mau naik juga. Gue bilang sama mereka, boleh nggak gue bareng sama kalian ke puncak? Mereka memperbolehkan gue dan akhirnya gue bareng dengan mereka. Saat gue jalan bareng mereka, tempo pun melambat karena harus menunggu temannya yang wanita yang cepat lelah. Dan gue pun semakin kelelahan setelah memperlambat ritme. Karena gue udah kecapean, akhirnya gue cari barengan lagi. Gue barengan dengan lima pendaki pria yang melewati gue dan gue ijin buat bareng dengan mereka. Lalu, gue jalan paling belakang. Kali ini gue udah nggak mencari pita petunjuk lagi, gue hanya memperhatikan langkah pendaki depan gue serta pijakan yang harus gue pilih. Sempet sebel karena mereka berlima laki semua tapi kenapa gue nggak disuru jalan di tengah, yaa minimal kan gue ada yang jagain depan belakang. Seperti sebelumnya pas gue naik gunung, biasanya cewe jalan di tengah dan bukan menjadi sweeper. Cuma lagi lagi gue inget, nggak boleh berharap sama manusia. Ini aja udah syukur banget nemu barengan. Gue terus melangkah mengikuti jejak mereka sambil berusaha bersyukur dengan kondisi yang ada. Kemudian kami sempat beristirahat di pinggiran jalur.
Mereka ngerokok sambil bertanya bagaimana gue bisa berpisah dengan Rara dan Acil dan asal gue dari mana. Gue jawab apa adanya dengan singkat. Gue udah capek dan males banyak ngomong. Karena perjalanan masih panjang. Setelah rokok mereka habis, kami melanjutkan perjalanan kembali. Malam ini gue gak tau bagaimana medan yang sebenarnya, yang gue rasakan hanya berjalan digang senggol sempit, naik ke akar pohon dan berpijak pada pohon lainnya serta berjalan sambil menghalau ranting pohon hingga akhirnya kami berhasil mencapai puncak. Di puncak Pangrango pun, kami hanya menjumpai sebuah pendopo dan tulisan glow in the dark pada sebuah papan yang tergantung di salah satu tiang, PUNCAK PANGRANGO 3019 MDPL. Sementara yang lain beristirahat, gue minta diambilkan foto oleh salah satu dari mereka.
Setelah istirahat sebentar, kami kembali melanjutkan perjalanan ke Mandalawangi yang merupakan padang edelweis yang menjadi camping ground para pendaki. Awalnya kami bingung harus mengambil arah yang mana karena memang kondisinya benar-benar gelap, namun akhirnya salah satu dari kami menemukan pita merah putih sebagai petunjuk, kami segera melanjutkan perjalanan. Kembali memasuki hutan dengan banyak ranting disana sini, kami terus berjalan hingga akhirnya menjumpai padang datar luas dan banyak tenda yang didirikan. Malam itu gue melihat beberapa lampu dari dalam tenda dan banyak bintang di langit. Milky way. Priceless.
Rasa lelah gue berganti dengan rasa syukur pada Tuhan karena gue masih dikasi kesempatan dan kesehatan fisik untuk bisa mencapai Mandalawangi. Saat gue duduk dirumput bersama dua orang pendaki yang bareng tadi, kami ngobrol. Mereka ternyata teman kampus dari Uhamka dan berasal dari Ciledug. Dan sebelumnya mereka sudah bermalam di Kandang Badak. Sebelum lebih banyak bercerita, ketiga teman yang lain memanggil kami untuk pindah ke dekat lapak tempat tenda akan dibangun. Gue mengikuti dan melihat dua orang pria sedang membuat kayu bakar yang berjarak 10 meter. Gue ijin ke lima pendaki, untuk sekedar menghangatkan badan dekat kayu bakar.
“Misi Mas, numpang ngangetin badan yah” kata gue membuka pembicaraan.
“Silahkan Mbak. Dari Ciledug juga Mbak?” tanya salah satu dari mereka
“Oh, enggak Mas. Saya dari Jakarta Utara”
“Loh, sama siapa aja Mbak?”
“Saya sendirian Mas. Sebenarnya saya bertiga sama teman saya waktu mau summit dari Kandang Batu. Cuma pas lagi jalan, saya dapat kabar bahwa dua orang teman saya tidak melanjutkan perjalanan. Akhirnya saya mencapai kemari barengan temen-temen dari Ciledug itu. Kami bertiga rencana mau tektok, namun karena saya sendirian, saya nggak berani turun lagi.” Jelas gue panjang lebar sebelum ditanya dengan muka kucel dan tampang bloon.
“Bawa tenda?”
“Enggak Mas.”
“Yauda tidur di tenda saya aja nanti, tapi gakpapa yah sempit”
“Yaa nggakpapa banget Mas, udah syukur dibolehin numpang”
“Yauda bilang aja dulu sama mereka (pendaki Ciledug –red) kalo kamu bareng sama saya disini, nanti mereka cariin kamu”
“Oke Mas”
Gue langsung bilang ke temen-temen dari pendaki Ciledug kalo malam ini gue akan bareng di tenda sebelah. Pria yang ngajak gue ngobrol adalah Mas Yayeng, Ia baru tiba Sabtu sore. Dia menyusul temannya Mas Aday dan Mas Bongky, yang sudah ngecamp dari hari Kamis. Mas Yayeng meminta gue untuk masuk ke dalam tenda, mencopot sepatu dan kaos kaki. Namun gue sempat menolak karena pakaian gue kotor banget. Namun, Mas Yayeng tetap menyuruh gue masuk ke dalam untuk menghangatkan tubuh. Begitu selesai melepas sepatu dan kaos kaki, gue masuk ke dalam tenda yang berkapasitas satu orang itu dan langsung disodorin minuman hangat susu jahe oleh Mas Bongky. Gue langsung minumkaya orang kehausan. Sebenarnya bukan karena gue dahaga, cuma minumannya enak banget ngangetin badan. Sementara gue minum susu jahe, Mas Yayeng masakin gue mie instant rasa rendang. Begitu selesai gue langsung ngabisin mie-nya. Padahal awalnya pas ditanya gue laper apa enggak, jawabnya enggak. Gue nggak enak kalo ngerepotin. Gue mikirnya kalo gue laper, gue makan cemilan yang gue bawa aja. Begitu pun pas mie-nya jadi, gue sempet bilang “setengah-setengah yah, Mas Yeng” eh dia malah nyuruh gue habiskan, yauda gue habisin deh.
Begitu selesai makan, gue langsung ganti pakaian. Lalu keluar tenda lagi dan disuru makan jelly pake susu sama Mas Aday. Duh, puji Tuhan banget deh gue disuru makan mulu. Hahaha. Yauda gue makan dua potong sembari malu-malu. Bukannya malu-malu sih, gue nggak enak nyusahin orang. Baru kenal pula yes kan. Selesai makan jelly, gue bilang ke Mas Yayeng kalo gue ngantuk. Dan dia nyuruh gue buat tidur. Akhirnya gue masuk ke dalam tenda dan tidur pake sarung seadanya. Jam 11 malam gue terbangun karena Mas Yayeng masuk ke dalam tenda. Gue nyuruh dia tidur pake sleeping bag-nya, namun dia nggak mau, akhirnya sleeping bag-nya dibuka buat selimutan kita berdua. Kaki gue kedinginan ampemati rasa. Akhirnya dibantuin Mas Yayeng buat dihangatkan dengan menggesekan kedua kaki. Gue cerita ke Mas Yayeng, kalo gue tadi hampir nangis, sedih karena ditinggalin. Terus Mas Yayeng langsung motong pembicaraan gue, “Pendaki itu strong, nggak boleh cengeng.” Gue langsung senyum dan tidur kembali.
Gue kebangun lagi dan melihat henpon. Ternyata masih jam 1 pagi, lalu gue bilang ke Mas Yayeng, “koq lama banget sihMas nggak pagi-pagi?” dan Mas Yayeng ngejawab, “ya begitulah kalo di gunung, waktu berasa lama.” “kamu kedingingan, mau makan nggak? Aku punya roti tuh.” “Nggak usah ah Mas” jawab Gue. Kemudian Mas Yayeng menyobekan roti dan memberikannya ke gue, dan gue langsung makan dengan muka penuh bahagia. Gue gayanya doang nggak mau makan, pas disodorin ya gue makan juga #GueMahGituOrangnya. Selesai makan roti, gue tidur lagi dan akhirnya benar-benar bangun jam 5 pagi setelah alarm henpon gue bunyi. Pas gue bangun, gue memutuskan untuk keluar tenda dan gue nyuruh Mas Yayeng tidur pake sleeping bag.
Keluar tenda gue nyari semak buat pipis, terus gue jalan-jalan di sekitar padang edelweis. Nggak lama gue bangun, Mas Bongky dan Mas Aday pun bangun. Mereka udah nggak bisa tidur lagi. Mas Bongky langsung bikin teh susu dan Mas Aday cerita kalau semalam salah satu pendaki Ciledug ada yang muntah karena masuk angin. Gue langsung mikir, seandainya gue tidur bareng mereka, apakah yang akan terjadi pada diri gue? Pagi itu, gue cuma bisa bersyukur doang J
Mas Bongky nyuruh gue minum teh susu buat asupan pagi. Lalu, gue jalan-jalan buat foto-foto disekitar padang edelweis bareng Mas Bongky. Mas Aday pun menyusul juga. Sedangkan Mas Yayeng masih sibuk tidur. Feeling gue semalam dia nggak tidur tapi jagain gue. Big thanks! Feels like a princess of Mountain 😀
Begitu jam setengah 8 pagi, gue bangunin Mas Yayeng buat siap-siap packing karena udah mau turun. Sementara Mas Yayeng, Mas Aday dan Mas Bongky packing, gue disuru duduk di matras ngeliatin mereka bertiga bebenah dan masak buat sarapan. Again, feels like a princess of Mountain :p
Lalu gue sarapan pake lontong mie telur dan mulai turun ke basecamp. Saat di puncak, gue nggak mau melewatkan kesempatan buat foto. Selesai berfoto, kita berdoa bersama dan melanjutkan perjalanan untuk turun. Medan yang gue lewati jauh berbeda dengan medan gue mendaki. Saat turun, gue melewati hutan-hutan dengan tanah yang landai dan tiba-tiba sudah sampai ke Kandang Bandak tanpa melewati pertigaan setelah berjalan 1.5 jam. Kami beristirahat di Kandang Badak sekitar setengah jam dan melanjutkan perjalanan ke basecamp. Sepanjang jalan turun gue diapit mereka bertiga dan dengan sabarnya mereka menemani dan menjaga gue menuruni jalur. It feels like a princess of Mountain :*