Kita memang berbeda, tapi tidak dengan CINTA
Gue dilahirkan dari keluarga Katolik sederhana yang rajin ikut misa setiap hari Minggu sejak kecil. Beranjak dewasa, gue nggak pernah meninggalkan iman Katolik gue sampai suatu saat gue jatuh cinta pada Adit, yang beragama Muslim. “Nyaman”, mungkin itulah ungkapan yang cocok kenapa hubungan kami bisa bertahan selama 8 tahun terakhir ini. Gue sadar akan perbedaan iman itu, tapi apakah gue melakukan kesalahan kalau gue mencintainya? Gue cuma tau kalo cinta itu nggak pernah salah. Mau beda suku, keyakinan ataupun kepribadian, satu hal yang gue pahami sampai sekarang CINTA ITU NGGAK PERNAH SALAH.
“Jadi gimana persiapan pernikahan lu sama Adit?” tanya Stefani ke gue.
“Sudah 80% nih. Cuma kami memutuskan untuk nikah di gereja dulu dan untuk sipil-nya menyusul”
“Kenapa gitu?” tanyanya lagi.
“Sipil Bandung tidak mengurus pernikahan Katolik dan Muslim”
“Maksudnya?”
“Jadi gini, waktu gue mau urus administrasi nikah beda agama di kantor catatan sipil Bandung, salah satu petugasnya menyarankan gue untuk mengurus di Jakarta atau Bekasi. Bahkan lebih parahnya lagi, dia nyuruh mengganti agamanya Adit di KTP menjadi Katolik juga. Gue langsung ngomong dengan nada tinggi ke petugas itu “Sorry ya, gue gak akan pernah memaksakan iman pasangan gue”. Gue nggak habis pikir tuh orang ngomong kaya gitu”
“Sabar.. sabarr..”
“Gimana mau sabar? Dia ngomong juga bahwa disini bisanya mengurus pernikahan Katolik dengan Hindu atau Katolik dengan Budha, bukan Katolik dengan Muslim”
“Oh. Eh”
“Lu baru tau kan? Sama! Gue juga. Udahlah gausa bahas itu dulu, terlalu complicated, gue mau urus pernikahan di gereja dulu dan nyiapin buat resepsi” tutup gue.
Buat gue, mental adalah modal utama untuk menikah sedangkan uang adalah modal utama untuk resepsi pernikahan. Sejak awal kami memutuskan untuk menikah banyak godaan yang datang silih berganti. Antonius, Christopher dan Christian yang nota bene pria Katolik datang ke dalam hidup gue. Jujur, gue kucing-kucingan sama Adit waktu gue mau mencoba mengenal mereka dan berharap bisa dapat pasangan yang seiman. Tapi hasilnya nothing karena cinta mampu menunjukan kesetiaan. Entahlah ini beneran cinta atau cinta-cintaan.
Adit mengajak gue untuk bersilahturahmi dengan keluarga dan gue pun melakukan hal yang sama. Diperkenalkan sebagai calon, reaksi keluarga kami sangat variatif. Ada yang menerima namun tidak sedikit juga menolak. Terutama keluarga gue. Mereka masih banyak berharap bahwa gue mendapatkan calon suami beragama Katolik. Namun, perjuangan nggak pernah sia-sia. Gue dan Adit berusaha untuk meyakinkan kepada keluarga bahwa hubungan kami baik-baik saja dan serius untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Kami melakukan pendekatan personal ke masing-masing anggota keluarga. Waktu, uang, tenaga dan pikiran karmi korbankan untuk meyakinkan mereka dan itu bukanlah hal yang mudah. Gue harus bolak balik Bandung dan Surabaya untuk mengenalkan Adit ke semua keluarga, begitupun Adit yang harus bolak balik mengajak gue ke Yogyakarta untuk mengenalkan gue ke keluarganya. Hingga akhirnya kami mendapat restu dari semua keluarga besar.
bersambung …