Situ Gunung

Berawal dari sebuah kebutuhan untuk refreshing sejenak dari setumpuk pekerjaan yang tidak ada habisnya, membuat saya bertanya pada seorang teman, Ucok — sang pecinta alam –, untuk minta referensi liburan singkat sambil menikmati alam. Singkat cerita, pilihan jatuh kepada Situ Gunung, Sukabumi, yang menurutnya bisa dinikmati seharian tanpa menginap.

Sabtu pagi, sekitar pukul 04.29 telepon saya berbunyi karena adanya sebuah panggilan masuk dari seorang teman yang hendak menjemput saya di rumah. Sebut saja dia si Kumbang. Saya segera bergegas untuk mandi dan bersolek, kemudian saya mengenakan polo shirt merah dengan baju kodok rok bermotif kotak kecil serta flat shoes merah dengan alasan biar kece kalau di foto. Karena yang ada dalam bayangan saya, pemandangan yang akan saya lihat mayoritas berwarna hijau, jadi jika saya mengenakan kostum berwarna merah, fokus hasil foto ada pada saya. Centil.

Saya berjalan menuju depan gang rumah menyambut si Kumbang yang sudah menunggu saya sekitar 5 menit bersama si UOL — panggilan sayang mobilnya si Kumbang. Duduk manis di dalam UOL, kami segera berangkat menuju rumah teman saya di kawasan Tambun. Panggil saja dia si Bunga. Dalam perjalanan menuju rumah si Bunga, si Kumbang bercerita bahwa Ia sempat nyasar menuju rumah saya karena salah putar balik, sehingga Ia harus berputar kembali dan menghabiskan waktu 15 menit. Ia juga bercerita bahwa semalam, Ia baru bisa tidur pukul 01.30 sehingga masih kurang tidur. Berbeda dengan saya, yang sudah menabung tidur sejak pukul 21.00. Perjalanan menuju rumah si Bunga melewati 2 pintu tol dengan total jarak 26 km (based on google maps info :p). Setibanya di depan rumah si Bunga, kami masih harus menunggu sekitar 15 menit karena si Bunga masih menyiapkan pia legong, pie susu serta makaroni untuk kami yang sudah meronta kelaparan.

Begitu semuanya siap, kami segera berangkat menuju tempat tujuan. Sempat kami singgah di Alfamart untuk beli bekal di jalan, ada pocky banana, lays, pudding, TOP serta beberapa botol aqua 600 ml. Perjalanan awal menuju ke tol Jagorawi, sesuai dengan arahan yang kami dapatkan di website. Keluar dari sana, kami menuju ke kanan menuju Sukabumi sesuai dengan plang yang ada. Jalanan menuju ke Sukabumi hanya ada 2 jalur sehingga sulit untuk ngebut dan kami hanya bisa mengikuti jalur yang ada. Beberapa titik kemacetan ada di pasar Cicurug dan pasar Cisaat. Berjalan terus menuju Kudadampit, si Kumbang mencoba untuk menyalakan google maps di dalam ponselnya.  Dan kali ini kami dibuat nyasar oleh maps. Tapi, kami ingat bahwa everything happens for a reason, jadi kami menikmati pemandangan terasering serta perkebunan. Disana banyak petani yang sedang panen sawi hijau dan sayur mayur yang lain. Tumpukan sawi hijau yang selesai panen pun bertumpuk di pinggiran jalan siap dibawa ke kota. Wangi dedaunan dan tanah tercium saat saya mencoba membuka kaca jendela mobil. Saya segera menghirup udara luar sambil memejamkan mata dan membentuk lengkungan keatas di bibir. I feel free.

Perkebunan sawi hijau

Perkebunan sawi hijau

Tak hanya menikmati pemandangan, beberapa kali si Kumbang mengajak kami untuk merekam video dengan go pro miliknya, yang lagi hits banget belakangan ini. Buat saya yang narsis, saya tak menyia-nyiakan kesempatan, langsung berpose senyum unjuk gigi, say halo dan melambaikan tangan ke lensa kamera. Ekspresif. Sungguh.

Setelah itu kami memutuskan untuk bertanya pada pemuda yang sedang duduk di saung bambu sambil menonton televisi. “Misi kang, kalau mau ke Situ Gunung kemana yah?” tanya saya. “Puter balik, lurus terus terus belok kiri ikutin jalan aja” jawabnya. “Berapa jauh, kang?” “1 kiloan kira-kira” “Sip atuh, makasi ya kang” kata saya menutup pembicaraan. Si Kumbang mengikuti arahan dari pemuda tadi hingga akhirnya menemui plang di jalan yang memberikan petunjuk bahwa untuk mencapai situ gunung masih 6 km lagi jaraknya. Sontak kami bertiga hening sejenak dalam hati untuk berpikir yang dimaksud pemuda tadi,1 km itu sebenarnya kemana? tapi ah, sudahlah. Tidak mau nyasar untuk kedua kalinya, kembali kami bertanya pada seorang pemuda di pinggir jalan. “Permisi, ke situ gunung benar lewat sini?” “Iya bener, lurus aja” “Berapa jauh lagi, kang?” “1 km-an” “Nuhun, kang”. Lagi-lagi dibilang 1km, yang jadi pertanyaan, Apakah 1 km di Sukabumi berbeda dengan 1 km di Jakarta? *mikir keras*

Mengikuti jalan yang ada disana, akhirnya membawa kami menemukan pintu masuk Situ Gunung yang hendak kami datangi. Harga tiket masuk per orang adalah Rp. 11.000. Saat membeli tiket kami pun segera bertanya pada penjaga, tempat apa yang bisa kami kunjungi di dalam. Ia mengatakan bahwa di dalam kami bisa ke danau Situ Gunung yang berjarak 1 km dari pintu depan dan ke air terjun (curug) sawer yang berjarak 1,7 km dari pintu depan. Untuk menuju ke danau, bisa menggunakan mobil, tapi kalau mau ke curug harus trekking.

Setelah berdiskusi singkat, kami memutuskan untuk menuju Danau Situ Gunung terlebih dahulu dengan menggunakan mobil. Jalanan yang kami lewati penuh batu dan menanjak serta dikelilingi hutan hujan tropis dengan pepohonan hijau yang menjulang tinggi.

Jalur menuju danau Situ Gunung

Jalur menuju danau Situ Gunung

Begitu si UOL berjalan 200 meter, kami merasa iba dengannya karena bagian bawahnya seringkali terbentur bebatuan, akhirnya kami memutuskan untuk memarkirkan di sebuah area kosong dimana terdapat mobil yang sedang diparkir. Setelah memberhentikan sejenak si UOL di belakang mobil yang sedang diparkir, si Kumbang membuka jendela dan bertanya pada pemuda yang mengenakan kaus berwarna hitam, “Misi kang, boleh parkir disini?” “Emangnya kalian mau kemana?” tanya pemuda itu. “Mau ke danau” jawab si Kumbang. “Oh maaf, tidak bisa, ini tana kita punya. Di dalam ada camping ground, kalau mau lihat lihat boleh parkir disini dulu aja” jelas si pemuda tersebut. Setelah tengok-tengokan pada si Kumbang dan si Bunga yang mengartikan “aku sih yes, kalau mau lihat-lihat campsite-nya”, kami bertiga segera turun dari mobil. Kami didampingi Pak Piping menuju campsite.

“Ini mah bukan campsite biasa, bagus bener tendanya” kata saya setelah melihat tenda yang tersusun rapih dimana pada bagian depan setiap depan tenda ada ranting pohon tempat untuk jemuran. “Iya, bagus banget tendanya. Beli dimana ya?” tanya si Kumbang pada pak Piping. “Nggak ada yang jual di Indonesia kaya ginian mah” jawab pak Piping cepat. “oh gitu. Kita boleh muter muter pak?” tanya si Kumbang kembali. “Mangga mangga, sok atuh” balas pak Piping. “Toilet dulu ya” pinta si Bunga.

Tenda di campsite tanakita yang sedang digunakan rombongan

Tenda di campsite tanakita yang sedang digunakan rombongan

Saya pun ikut masuk ke dalam toilet, lagi lagi saya terpana dibuatnya. Masuk ke dalam bilik toilet, lantainya penuh dengan batu koral dan klosetnya adalah kloset duduk berwarna putih dengan gulungan tissue di samping kirinya.  “Bukan tempat kemping ini mah, bagus bener” gumam saya dalam hati. Apalagi wangi aroma therapy-nya semerbak banget di bawah wastafel. Terlalu eksklusif untuk sebuah camping ground.

Kami menuju ke campsite bagian bawah dan mendapati beberapa tenda tersusun rapih ke samping dengan tangga kayu menuju ke tenda makan.

Tenda pada campsite bagian bawah menghadap ke tenda makan

Tenda pada campsite bagian bawah menghadap ke tenda makan

Tenda makan pada bagian bawah campsite

Tenda makan pada bagian bawah campsite

Melihat kondisi sekitar dan berfoto-foto ria, baik saya, si Kumbang dan si Bunga memiliki satu pemikiran yang sama, yaitu : pasti mahal. Ditambah lagi saya melihat seorang bapak sedang mengganti sprei kasur yang ada di dalam tenda, semacam cleaning service di dalam hotel yang sibuk make up room tiap paginya. Saya juga melihat beberapa saklar ada di dalam tenda. Ditambah lagi, kami melihat water heater di dalam kamar mandinya. Bener-bener beda dari kemping pramuka. Ya iyalah ya. Luxury campsite I ever seen, so far.

Bagian dalam tenda yang memiliki 4 kasur di dalamnya

Bagian dalam tenda yang memiliki 4 kasur di dalamnya

Selesai menclok sana sini di campsite untuk berkepo ria, kami bertanya pada Pak Piping soal harga. Ia mengatakan bahwa harga per orang untuk camp disini adalah Rp. 550.000/malam. Fasilitas yang di dapat 3x makan, 2x snack, guide menuju danau Situ Gunung dan Curug Sawer serta api unggun di malam hari. Tidak ada jumlah minimal untuk orang yang menginap, yang ada jumlah maksimal yaitu 100 orang. Kami juga bertanya untuk corporate rate, pikiran saya pasti lebih murah dong ya daripada personal, kaya harga kamar di hotel-hotel gitu, eh ternyata salah. Untuk corporate harganya dimulai dari Rp. 1.700.000. Kenapa mahal? Karena disesuaikan dengan tujuan corporate itu datang ke campsite ini untuk apa. Tanakita akan menjadi EO dari acara perusahaan tersebut. Saya merekomendasikan tempat ini untuk outbound atau team building. Tempatnya nyaman dan bersih. Kalau soal harga, silahkan negosiasi sendiri 🙂

Dari campsite tanakita, kami menemui UOL dan membawanya menuju tempat parkir di depan pintu gerbang. Kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju danau Situ Gunung. Awalnya saya mencoba jalan dengan kaki telanjang, biar peredaran lancar. Ceritanya. Namun baru berjalan 100 m, saya langsung menggunakan flat shoes kembali. Sepanjang perjalanan menuju danau, kami menjumpai satu arena untuk outdoor games di atas pohon, semacam flying fox dan kawan-kawannya. Namun kami tidak mencoba, karena tujuan awalnya mau ke danau. Sempat sih muncul hasrat untuk mencicipi, namun kami mencoba menahan keinginan tersebut. Saya sempat bertanya pada seorang bapak yang kebetulan sedang duduk menjaga campsite lain — bukan campsite seperti tanakita tadi, tapi campsite yang bangun tenda sendiri semacam anak gunung atau anak pramuka– tentang harga outdoor games tadi dan dibilangnya harga per orang adalah Rp. 75.000, lalu saya nanya kembali, “apakah bisa ditawar? (naluri emak-emak dipasar keluar)” dan si bapak bilang, “bisa sih harusnya nego saja dengan penjaganya”. Saya langsung nengok ke si Kumbang sambil senyum, semcam kode “nanti kita cobain ya kalo keburu”.

Terus berjalan menuju danau, kami mendengar kicauan burung sambil menikmati aroma dedaunan yang basah. Rasanya sungguh menenangkan batin. Hingga pada akhirnya kami berjumpa dengan sebuah plang selamat datang di danau Situ Gunung.

Selamat datang di danau Situ Gunung

Selamat datang di danau Situ Gunung

Jangan berpikiran bahwa danaunya memiliki air berwarna biru ataupun hijau bening. Sama sekali enggak. Malahan warna air di dalam danau cenderung cokelat. Tapi soal suasana sekeliling sih nggak usah ditanya, menenangkan jiwa raga. Cobain aja duduk di rerumputan sambil memejamkan mata, tarik napas dan menghembuskannya. Priceless.

Di danau, saya bersama Bunga dan Kumbang mencoba naik perahu kayu (sampan) dengan tarif Rp. 10.000 per orang yang langsung dibayarkan ke si pendayung. Tidak perlu pakai tiket. Muter-muter di sekeliling danau sambil berfoto foto dan bercerita bersama, rasanya seru. Benar-benar bisa mengalihkan pikiran dari pekerjaan. Ditambah lagi dengan hasil foto yang maksimal, rasanya tuh puas banget :p

Selfie di Perahu. Fokus kan sama warna merah? lol.

Selfie di Perahu. Fokus kan sama warna merah? lol.

Danau Situ Gunung

Danau Situ Gunung

Selesai naik perahu kayu, kali ini saya dan Kumbang mencoba naik rakit. Tarifnya masih sama Rp. 10.000/orang. Sensasinya berbeda dengan naik perahu. Kalau naik rakit, saya merasa keseimbangannya lebih stabil. Walaupun tenaga yang dibutuhkan untuk menjalankan lebih besar daripada perahu. Dan buat foto, lebih artistik naik rakit daripada perahu. Nggak percaya? ini hasil jepretannya.

Aku diatas rakit

Aku diatas rakit

Kalian tidak perlu tanya mengapa gaya saya selalu mengangkat kedua tangan ke atas yah, karena saya akan bilang bahwa berfoto dengan mengangkat tangan keatas menunjukan suatu keterbukaan, kebebasan dan keceriaan (eits, IMO). *abaikan part ini*

Di atas rakit, saya mendengarkan perbincangan antara si Kumbang dengan Pak Dadang — orang yang menjalankan rakit. Pak Dadang bercerita bahwa rakit sering digunakan untuk foto pre wedding. Hampir tiap minggu, ada saja orang yang berfoto untuk prewed dengan rakitnya (minat? samperin langsung si Pak Dadang). Biasanya rakit ini bisa membawa maksimal 10 orang sekali jalan dan dalam seharinya kalau weekend Pak Dadang paling banyak bisa membawa 100 orang. Umur rakit sekitar 3 bulan, dan biaya yang dikeluarkan untuk membuat 1 rakit sekitar Rp. 3.000.000. Harga ini lebih murah daripada perahu, yaitu Rp. 6.000.000,- Rakitnya pak Dadang ini dirakit sendiri oleh beliau, hebat yah!

Candid di Rakit, photo credit : si Bunga

Candid di Rakit

Saya sempat membantu pak Dadang untuk menjalankan rakitnya dan ternyata berat sekali. Saat menapakan ujung bambu ke dasar danau serta mendorongnya, butuh tenaga yang besar. Dan saya cuma nyoba nggak lebih dari 5x langsung keringetan.

Selesai bermain rakit, hujan turun dengan derasnya. Kami berteduh dekat mushola sejenak sambil makan roti. Tak lama menunggu hujan reda, kami segera berjalan melewati pohon bunga terompet putih di sisi kiri kami. Namun, redanya hujan cuma php saja, dia kembali turun dengan derasnya. Sehingga kami memutuskan untuk berteduh di tenda penjual gorengan dan bakso sambil kami menikmatinya.

Selesai makan bakso, hujan pun berhenti. Sangat pengertian. Kami berjalan menuju parkiran UOL kembali. Betis mulai tegang dan pergelangan kaki mulai lelah. Namun tak mengurungkan niat kami untuk ke curug sawer. Sebelum jalan ke curug, si Bunga berganti sendal jepit yang dibelinya di warung supaya lebih nyaman. Setapak demi setapak mulai kami tempuh. Tanjakan awal adalah tanah kemudian mulai turunan dengan batu kerikil licin sehingga harus hati-hati.

Track menuju curug sawer

Track menuju curug sawer (1)

Track menuju curug sawer (2)

Track menuju curug sawer (2)

Gambaran medan trekking seperti gambar di atas, namun ada juga yang agak bahaya berbentuk undakan 30cm bertanah licin dan batu besar. Hati-hati dan tetap fokus 🙂 Kalau memang lelah, istirahat sejenak. Mungkin buat anak gunung, track ini mudah sekali, tapi untuk pemula, pesan saya nikmati setiap langkah. Oiya, di sekitar track banyak lutung dan musang yang suka lompat-lompat, jangan panik ya.

Kami bertiga menghabiskan waktu 90 menit menuju curug, seharusnya sih kalau jalan normal dengan kostum selayaknya trekking 45 menit bisa sampai. Cuma karena saya trekking anggun jadi lama deh :p sampai di curug, saya berfoto-foto dan main air. Bahagia-nya tak terkira.

Curug Sawer

Curug Sawer

Bahagia adalah bermain bersama alam

Bahagia adalah bermain bersama alam

Puas bermain air, saya dan Bunga kembali menuju pintu masuk naik ojek. Maklum ya, stamina faktor usia dan kurangnya olahraga karena sibuk bekerja, membuat kami lebih memilih membayar Rp.25.000/orang untuk naik ojek. Eits tapi, sebelum naik ojek, kami harus menanjak dulu 5 menit yang mana tanjakannya lebih curam. Sedangkan si Kumbang kembali dengan jalur trekking yang sama dengan pergi. Naik ojek menuju pintu masuk Situ Gunung lumayan menantang loh, baik tanjakan maupun turunannya curam semua. Dan si abang ngojeknya ngebut pula. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke depan pintu gerbang Situ Gunung. Sampe sana saya makan es krim yang harganya cuma Rp. 2.000,- dan si Bunga minum minuman berasa. Baru duduk sebentar dan ngobrol sama akang-akan di sekitar, tiba tiba si Kumbang muncul dan dia hanya menghabiskan waktu 28 menit! *prok prok prok*

Kami beristirahat sejenak, duduk-duduk di depan warung sambil ngobrol dengan beberapa pemuda yang kami jumpai saat trekking menuju curug. Dimana sebagian dari mereka adalah guide lokal dan ada juga pemuda Jakarta yang sedang survei lokasi. Dari sana kami tahu bahwa di area Situ Gunung bisa rafting, namun kami tidak sempat mencobanya. Dan ada satu curug lagi yang bisa ditempuh melalui danau dengan medan yang cukup berat, tapi sayang sekali, saya lupa namanya. Mungkin kalo kalian berkesempatan kesana, bisa ditanyakan langsung ke penduduk lokal.

Setelah beristirahat kami kembali ke Jakarta. Kami memilih jalur pulang lewat tol Padalarang. Si Kumbang kembali menyalakan gmaps di ponsel untuk menunjukan arah. Jalanan menuju tol padalarang sempat stuck sekian menit karena ada buka tutup jalan akibat jalan yang diperbaiki. Kami sempat mati gaya, nggak tau mau ngapain sambil nunggu macet. Akhirnya tiba-tiba munculah ide untuk bermain ABC Lima Dasar sementara si Bunga tertidur dengan pulasnya. Saya menyebut angka lima dan si Kumbang menyebut angka enam yang menunjukan bahwa kami harus menyebutkan nama buah berawalan huruf K. “Kecapi” “Kedongdong” “Kurma”. Lanjut lagi kami berdua heboh sendiri di dalam UOL, “satu” “lima” dan kemudian kami hening berpikir keras buah yang berawalan huruf F lalu tertawa bersama. Tidak berhenti sampai menyebutkan nama buah, kami juga berganti topik. Nama hewan, nama negara dan nama kota, hingga akhirnya si Bunga terbangun dan tersadar bahwa kami salah jalur. Gmaps mengarahkan kami untuk kembali Jakarta melalui jalur puncak, padahal kami maunya lewat tol padalarang. Jadilah kami puter balik. Maklum, saya dan si Kumbang jarang main ke daerah kami, berbeda dengan si Bunga yang sering bolak balik Bandung – Puncak untuk urusan kerjaan.

Saking lelahnya dan karena si Bunga sudah bangun, akhirnya gantian saya yang tertidur pulas di sepanjang sisa jalan pulang. Terima kasih Kumbang dan Bunga untuk kebersamaannya :*

You may also like...

2 Responses

  1. Kumbang says:

    Besok2 lagi yaaaaa!!! 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Web Design BangladeshWeb Design BangladeshMymensingh