Kisah di balik, ‘can you give me HKD 13?’

IMG_0108.JPG
Kamis malam, 1 Januari 2015, gue beranjak dari kasur hostel di Chungking Mansion, Block B, 14/F 8B untuk bergegas menuju ke MTR Station Tsim Sha Tsui. Gue memutuskan untuk pergi ke The Peak Tower, yang merupakan titik tertinggi di Hong Kong. Disana gue bakalan lihat kota Hong Kong 360 derajat, di malam hari. Itu info yang gue dapet dari brosur The Peak yang gue ambil di bandara. Excited.

Dari stasiun Tsim Sha Tsui, gue menggunakan MTR Tsuen Wan Line menuju ke stasiun Central. Hanya 2 stasiun jaraknya. Dari sana gue menuju exit J2 dan bertanya pada seorang Bapak penjual minuman,
‘Permisi, kalau mau naik tram ke The Peak Tower, arahnya kemana yah?’
‘Oh, kamu nyebrang jalanan ini, kemudian jalan lurus terus saja, kira-kira 3 menit waktunya.’ Jawab si Bapak sambil menunjuk jalan yang harus gue sebrangi.
‘Baik pak, terima kasih.’

Gue mengikuti arah jalanan yang ditunjukan oleh si Bapak itu, dan gue mulai menanjak perlahan mengikuti alur. Sudah 3 menit jalan, gue masih belum melihat lokasi untuk naik tram. Kaki mulai pegal dan gue mulai ngedumel sendiri. ‘Jangan-jangan 3 menit yang dimaksud si Bapak tadi, kalau yang jalan orang lokal’ gumam gue dalam hati sambil mengingat bahwa kecepatan orang lokal jalan 2.5 kali lebih cepat dibandingkan gue. Namun, karena gue pengin banget kesana, gue terus jalan sampe akhirnya gue melihat kerumuman orang. Gue mulai meyakini bahwa itu adalah tempat dimana gue bisa naik tram menuju The Peak Tower. Gue mendekatinya dan menemukan tulisan The Peak Tram di sebrang jalan kerumunan. Gue mulai senang, karena gue berhasil menemukan tempat untuk naik tram.

Namun tampaknya, kesenangan gue hanya berlangsung sementara. Gue bertanya pada petugas berseragam yang sedang merapihkan baris antrian. ‘Misi, antrian untuk naik tram dimana yah?’ ‘Kamu mau naik tram saja atau sekalian ke Madame Tussauds?’ tanya pria itu balik. ‘Gue mau naik tram saja’ jawab gue cepat. ‘Oke, kalau gitu kamu antri di sebrang sana ya.’ Gue langsung melihat ke arah sebrang jalan dan menemukan antrian mengular penuh manusia. Gue mencari dimana zebra cross untuk menyebrang jalan tersebut dan tidak menemuinya. Gue bingung. Gue Diam. Gue hanya melihat banyak bis travel dan taxi di jalan tersebut. Gue juga melihat ada orang yang sembarangan menyebrang begitu saja menuju antrian. Tapi gue gak berani untuk menyebrang, takut ketabrak. Secara gue sendirian, nanti yang nyelametin gue siapa?

Gue berjalan 100 meter ke kanan untuk melihat sejauh apa antriannya dan gue langsung males mendadak untuk mengantri. Gue gak sanggup antri sepanjang itu. Akhirnya gue tanya kembali ke si petugas yang berbeda dari sebelumnya. ‘Permisi, dimanakah antrian untuk naik tram?’ ‘Kalau kamu cuma mau naik tram, kamu harus antri di sebrang sana dengan lama antrian 4 jam. Tapi kalau kamu mau beli paketan sekaligus dengan tiket masuk Madame Tussaud, kamu hanya perlu antri 30 menit’ ‘Pinter banget nih bisnisnya’ gumam gue dalam hati. Setelah say thanks, akhirnya gue memutuskan untuk beli tiket paket Madame Tussauds dan tram. Alasannya satu : MALES ANTRI LAMA.

Gue mulai antri menuju kasir pembelian tiket paket tram dan Madame Tussauds. Ada 5 orang di depan gue yang sedang antri dan sepasang kekasih bule di belakang gue. Mereka saling ngobrol satu sama lain dengan menggunakan bahasanya masing-masing. Yang kedengeran di telinga gue sih bahasanya French dan Kanton. Tapi gue gak yakin juga sih. Ah, sudahlah, secara gue sendirian, gue cuma diem doang sambil melihat ke kanan dan ke kiri, ngeliat lautan manusia yang sedang mengantri. Sempet kesel juga pas lihat rombongan tour dan travel yang baru saja turun dari bis, mereka langsung bisa masuk ke antrian tram melalui jalur khusus tanpa antri. Rasanya pengin menyelinap diantara kerumunan itu, tapi karena gue masih inget arti disiplin, gue mengurungkan niat tersebut.

Kini, tibalah gue di depan kasir dan gue segera memesan 1 tiket paket tram dan Madame Tussauds. Si Kasir langsung memencet tombol yang ada di cash machine dan layar menunjukan angka HKD 280 yang merupakan harga paketan yang gue ambil. Gue langsung menyerahkan sebuah kartu berwarna hijau berlogo visa yang gue ambil sebelumnya dari dompet gue. Ya, debit card. Begitu gue menyerahkan kartu, si Kasir langsung bilang, ‘sorry, cash payment only’, ‘oh, really? You don’t accept visa or mastercard?’ tanya gue setengah tidak percaya. ‘Yes, mam. Cash only.’ Jawabnya cepet. Gue langsung buka dompet dan hanya mendapati HKD 200, yang berarti duit gue nggak cukup. Gue langsung menundukan kepala dan berjalan keluar antrian. Gue seakan masih belum bisa terima kenyataan dan bertanya-tanya dalam hati, ‘Kenapa untuk beli tiket wisata tidak bisa menggunakan visa atau mastercard? Hong Kong pula yes kan, yang notabene negara maju. Masa iya gak bisa bayar pake card?’. Tapi sudahlah.

Gue sedikit berharap bahwa uang receh yang gue punya bisa mencapai HKD 80. Setelah gue bongkar tas untuk mencari recehan dan merogoh kantong jaket kanan kiri, gue hanya mendapati HKD 67,70 yang berarti total duit gue sekarang masih kurang HKD 12,30 untuk beli tiket tersebut. Rasanya gemes se-gemes-gemesnya. Kalo gue konversi ke rupiah, duit yang gue butuhkan sebenarnya cuma sekitar IDR 22.000. Andaikan gue bisa bayar sisanya dengan rupiah atau dollar Singapore, uang yang gue punya di dompet saat itu, pasti hidup gue lebih tenang. Namun sayangnya, gue semakin gusar. Gue langsung nanya ke petugas yang sedang menjaga antrian, “Misi, tau nggak ATM terdekat disini dimana?” “di MTR Central.” Jawabnya ketus. Gue menutup pembicaraan dengan say thanks.

Gue berdiri di tengah trotoar, menghirup dinginnya udara malam dan berpikir. Berpikir apakah lebih baik gue kembali ke hostel? Ataukah berjalan menuju ATM di MTR Central? Ataukah mengantri tram selama 4 jam? Ataukah … ? Banyak hal yang terlintas dalam pikiran gue. Kalau gue balik ke hostel, berarti gue akan menghabiskan hari pertama di tahun 2015 dengan ndusel-ndusel sama guling di kasur. Kalau gue ke ATM di MTR Central berarti gue harus jalan dulu ke bawah kemudian menanjak lagi ke tempat tram. Kalau gue harus antri selama 4 jam, rasanya gue nggak tega sama kaki gue sendiri. Gue semakin bingung nggak tau mau ngapain. Gue akhirnya berjalan sepanjang trotoar sekitar 200 meter untuk melihat panjangnya antrian di sebrang, kemudian kembali lagi ke dekat kasir penjual tiket. Gue seakan mendengarkan suara dari surga yang bilang, ‘udah minta sama orang aja, secara cuma HKD 13 doang, pasti dikasi deh.’ Entahlah kenapa gue bisa mendengar suara seperti itu. Namun, gue malah berpikir bahwa itu adalah cara terbaik!

Gue mulai mengantri kembali untuk membeli tiket paketan tram dan Madame Tussaud dengan optimis duit gue akan cukup. Di depan gue ada sepasang kekasih yang sedang mengantri. Kemudian gue langsung toel lengan si pria dan bertanya, “can you give me HKD 13? My money doesn’t enough to buy the ticket” sembari menunjukan semua duit yang gue punya kepadanya. Gue memang sengaja memilih si Pria untuk dimintakan duit, karena sebagai cewe, gue pernah denger kalo cowo nggak tega ngeliat cewe yang tampangnya memelas. HAHAHA. Gue emang sedikit acting dengan memasang muka memelas waktu ngomong ke pria itu. ‘Wait wait” balas pria itu. Kemudian, pria tesebut ngomong ke pasangannya serta dua orang temannya yang sedang membayar tiket dengan menggunakan bahasa Mandarin. Gue nggak ngerti apa yang mereka bicarakan. Namun gue seakan punya feeling kalau kekasih pria itu bertanya, ‘ngapain sih dia minta duit ke kita? Bilang aja nggak ada’ sambil menatap sinis ke gue. Sedangkan si Pria tetap sibuk memintakan duit ke temannya. Gue mulai pesimis untuk dikasi duit sama pria itu. Gue deg-degan. Rasanya gue nggak siap buat ditolak, nggak dikasi duit. Setelah kedua teman pria itu selesai dari kasir, mereka bertanya ke gue dengan menggunakan bahasa Mandarin, yang gue nggak ngerti artinya. Dan gue cuma geleng-geleng kepala. Kini, giliran si pria dan kekasinya menuju kasir untuk membeli tiket. Suprisingly, teman si Pria tersebut akhirnya memberikan gue selembar HKD 20 dan HKD 10. Gue langsung bilang ke mereka, “I only need thirteen dollars, not thirty’, namun sepertinya mereka tidak mengerti apa yang gue maksud. Akhirnya dengan lancangnya gue ambil selembaran HKD 20 dari tangan teman si Pria, dan mengembalikan padanya HKD 7. Kemudian, mereka ngobrol dalam bahasa mandarin yang kira kira artinya, ‘oh, dia butuhnya cuma 13 dolar bukan 30 dolar’ sambil ketawa bersama. Gue langsung memberikan senyum kepada mereka dan mengucapkan terima kasih.

Kini gue punya duit sejumah HKD 280,70. Gue melangkah pasti menuju kasir, menunjuk paketan yang mau gue ambil dan menyerahkan dua lembar HKD 100, selembar HKD 50, selembar HKD 20, satu keping HKD 5, dua keping HKD 2 dan satu keping HKD 1 pada kasirnya. Kasirnya nampak begitu kaget dengan duit yang gue serahkan, dia menghitung jumlah duit yang gue punya sampe tiga kali untuk memastikan bahwa jumlahnya pas HKD 280. Kemudian dia memberikan gue tiket sebanyak dua lembar. Tiket tram dan tiket masuk Madame Tussauds. Gue langsung menuju antrian tram yang berjubel itu. Ketika giliran gue masuk ke dalam tram, gue lebih memilih untuk berdiri biar bisa melihat pemandangan malam. Pemandangan gedung tinggi di sebalah kanan dan kiri yang berhiaskan lampu berwarna kuning di setiap lantainya. Melihat sebuah terowongan di belakang hingga tanaman yang bergoyang di sisi kanan dan kiri jalur tram hingga akhirnya gue sampai ke The Peak Tower. Pertama, gue langsung masuk ke dalam Madame Tusaauds, berfoto bersama patung lilin. Selesai dari sana gue mengambil duit di ATM Citibank yang terletak di dalam The Peak Galleria. Gue makan wonton noodle sebentar di Mak’s Noodle kemudian barulah gue menuju ke Sky Terrace setelah membeli tiketnya lagi seharga HKD 48. Disana gue melihat kota Hong Kong dari titik paling atasnya dan AWESOME!

IMG_0013.JPG

IMG_0048.JPG

IMG_0099.JPG

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Web Design BangladeshWeb Design BangladeshMymensingh