Bukan Puncak Romantis

(null)
“Gue jalan duluan yah, biar bisa dapet lapak buat bangun tenda di puncak” pinta Papap ke gue, karena dia merasa gue dan Dinda mulai melambat saat trekking menuju pos 3. Gue melihat ke arah Dinda yang mulai kelelahan trekking dengan keringat yang terus bercucuran di wajah Dinda. Jalur trekking pos 2 menuju pos 3 merupakan jalur terpanjang yang harus dilewati untuk mencapai puncak gunung Cikuray, Garut. Namun, gue sudah meneguhkan hati untuk selalu menjaga Dinda di setiap jejak langkahnya.

Tepat jam 12 siang, akhirnya kami tiba di pos 3. Menarik nafas panjang sembari duduk selonjoran, kami berdua melepas lelah. Kala itu perut mulai bergejolak, meronta-ronta meminta asupan makanan. Akhirnya, gue memutuskan untuk membongkar logistik di dalam carrier dan dengan sigap memasak 2 bungkus mie instant dan menyeduh 1 sachet kopi. Seneng rasanya pas gue melihat Dinda makan mie instant itu dan bisa tersenyum lagi seperti awal pendakian dimulai. Dimana tenaga masih utuh, semangat masih berkobar dan wajahnya yang selalu menarik perhatian gue. Setengah jam kami beristirahat dan kembali melanjutkan perjalanan menuju pos 4. Jalur yang tidak jauh berbeda dengan jalur-jalur sebelumnya, membuat tenaga kami berdua terkuras kembali. Dinda yang terlihat sangat lelah akhirnya ketiduran di pos 4 pada saat kami istirahat. Gue cuma bisa memperhatikan dirinya sembari menghisap 1- 2 batang rokok sampai Ia terbangun kembali dari tidur singkatnya. “Gimana Din? Mau lanjut lagi?” “Yuk, bang!”

Langkah demi langkah kami tempuh hingga akhirnya tiba di pos 5 tanpa kendala yang cukup berarti. Kami segera melanjutkan perjalanan kembali menuju pos 6. Namun, belum sampai sana, gue melirik ke arah Dinda yang jalannya sudah terseok-seok dan nafasnya yang terengah-engah. Gue meyakinkan diri gue, bahwa Dinda harus segera istirahat. Gue bilang sama Dinda, “kamu istirahat disini dulu aja yah, aku titip carrier juga disini. Aku mau ngejar Papap, nanti kamu aku jemput lagi. Oke?” dan Dinda hanya mengangguk sambil tersenyum.

Gue langsung melanjutkan perjalanan seorang diri untuk mengejar Papap, sambil berlari dengan harapan bisa bertemu segera. Namun sangat disayangkan, tiba-tiba hujan turun dengan sangat derasnya. Dan gue mulai ragu. Haruskah gue melanjutkan perjalanan keatas? Atau kembali menemui Dinda dibawah? Kali ini, otak dan hati sepakat. Gue memutuskan untuk menemui Dinda. Gue nggak tega membayangkan Dinda seorang diri di jalur pendakian dan diguyur hujan. Gue langsung ngibrit turun kebawa untuk menemui Dinda. Dan gue sempet lupa dimana Dinda berhenti, akhirnya gue turun sambil menerikan namanya, “Dindaaa…Dindaaaa…” begitu dijawab “Disini, bang!” gue langsung menghampiri dan menemukan Dinda sudah berselimutkan raincoat sedang duduk ditemani 2 carrier kami yang basah kuyup. Gue segera mengajak Dinda ke bawah flysheet pendaki lain yang sudah didirikan tidak jauh dari sana. Kami berteduh. 10 menit berteduh dan hati kecil gue berkata, “kayanya gak bisa gini terus nih, kasian Dinda udah kedinginan banget.” Tanpa pikir panjang, gue langsung lari dari bawah flysheet berniat untuk membangun tenda di sebelah tenda si Pendaki yang flysheetnya kami tumpangi. “Sorry bang, kita boleh bangun tenda disamping tenda abang nggak? Kasian nih bang, temen gue udah kedinginan banget” tanya gue ke si Pendaki sebelah. “Waduh, maaf banget nih, kita juga masih mau bangun tenda buat temen kita yang lain” “Oh gitu, oke deh bang” tutup gue cepat sambil bergumam dalam hati, “Yah, nggak dapet lapak deh” Gue kembali nyamperin Dinda untuk mengecek kondisi fisiknya. Alhamdulillah, Dinda masih kuat.

Gue memutuskan untuk kembali nanjak bareng Dinda buat cari lapak yang agak lowong supaya Dinda bisa istirahat dengan leluasa. Begitu nanjak sekitar 100 meter, akhirnya gue melihat sebuah tenda yang sudah terpasang walaupun dengan dasar yang agak miring. Gue langsung menghampiri tenda tersebut dan minta ijin pada mereka untuk menitipkan Dinda di dalam tenda.
“Misi bang, boleh numpang nitip temen gue di dalam tenda nggak? Temen gue cewe bang”
“Berapa orang?”
“Satu orang aja Bang, gue diluar aja nggakpapa”
“Oke” dan Dinda segera masuk ke dalam tenda.

Orang yang gue ajak ngomong tadi namanya Faisal, ketua pendakian dari sekelompok mahasiswa Universitas Pasundan. Mereka mendaki Cikuray berlima, dengan komposisi 3 cowo dan 2 cewe. Mereka adalah Ado, Agin, Iya, Ncun dan Faisal itu sendiri. Sebenarnya, mereka berencana untuk membangun 2 tenda, namun karena hujan turun dengan sangat derasnya, akhirnya mereka menunda untuk membangun tenda yang satunya. Semua cewe sudah didalam tenda, termasuk Dinda. Buat gue saat itu, yang penting Dinda aman dan nggak kedinginan lagi. Rasanya bahagia begitu Dinda terjaga. Gue bareng cowo-cowo lain berteduh dibawah flysheet.

Waktu menunjukan pukul 18:00 dan gue udah nggak kuat lagi bertahan dengan pakaian basah yang melekat ditubuh gue dari pertama hujan turun. Mulut gue mulai gemeteran. Gue memutuskan untuk bongkar carrier dan mengambil kompor di dalamnya, menyalakan api dan mencoba menghangatkan tubuh. Faisal, dkk pun mengambil kompor yang mereka bawa dan berinisiatif untuk memasak air panas. Menyeduh sereal dan kopi untuk gue konsumsi supaya gue nggak gemeteran lagi. Sampai akhirnya ketika badan gue mulai hangat dan hujan mulai reda, Faisal, dkk membangun tenda yang satunya lagi tepat disamping tenda yang sudah dibangun dengan posisi tanah saat itu memiliki kemiringan sekitar 15 derajat.

Gue sebenarnya bawa 2 tenda tapi apa mau dikata, karena tidak ada lapak tersisa, akhirnya tenda yang gue bawa tetap tersimpan rapih didalam carrier. Setelah tenda selesai dibangun, cewe-cewe pindah ke tenda tersebut, karena tenda yang mereka tempati sebelumnya, lebih besar buat 4 cowo termasuk gue. Pas gue mau masuk tenda, gue sempet diam sambil berpikir, “baju gue masih basah semua dan baju ganti ada di carrier yang dibawa temen gue, terus gue gimana?” gue langsung bercerita ke Dinda kondisi gue dan bak malaikat yang memang Tuhan kirimkan, Dinda meminjamkan kaosnya untuk gue pakai. Beruntung kaosnya pas sama gue dan unisex, akhirnya gue ganti kaos tapi tetep dengan celana pendek dan sempak yang demek :p

Di dalam tenda, gue dan Faisal, dkk ngobrol panjang. Dari hal yang penting sampe yang nggak penting. Dan gue nggak lupa juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya buat mereka yang udah mau ditumpangi sama gue dan Dinda. Dinginnya malam membuat kami tertidur lelap sejenak.

Tepat pukul 23:00, gue dibangunin oleh Faisal, dkk karena tanah tempat tenda dibangun ternyata longsor. Akhirnya kami berempat mencoba untuk membetulkan tenda. Namun, disitu saya merasa sedih. Mengapa? Karena Faisal, dkk menggunakan jaket tebal dan saya hanya menggunakan kaos yang Dinda pinjamkan, saat tenda itu dibetulin. Kebayang kan?

Gue sempet mengecek ke tenda sebelah dan mendapati Dinda tertidur dengan pulasnya. Mungkin karena Dinda sangat kelelahan seharian. Senang rasanya bisa terus jagain Dinda sampai detik itu. Akhirnya, kami berempat masuk kembali ke dalam tenda dan langsung tidur dengan pulas.

Alarm mulai bersahutan ketika jam menunjukan pukul 04.00 pagi. Waktu dimana para pendaki harus mulai mendaki menuju puncak supaya bisa lihat sunrise. Istilah kerennya, summit attack. Faisal nanya ke gue, “bang, mau ke puncak nggak?” dan gue langsung teriak mengarah ke tenda sebelah “Dinda, mau ke puncak nggak?” , “Dinda masih tidur bang!” sahut Iyaa. “Coba bangunin, terus tanyain mau ke puncak nggak?” pinta gue ke Iyaa. Dinda kemudian terbangun dan berkata “Pala Dinda pusing bang, gausa ke puncak yah bang”. Akhirnya gue memutuskan untuk enggak join summit attack, karena nggak mungkin banget gue tinggalin Dinda sendirian. Seperti kesepakatan gue di awal, gue harus jagain Dinda di setiap langkahnya.

Setelah Faisal, dkk berangkat menuju puncak, gue minta Dinda pindah ke tenda gue. Dinda cerita kalau dirinya nggak bisa tidur karena tanahnya miring. Dinginnya udara shubuh kala itu membuat kami berdua kedinginan parah walaupun di dalam tenda. Akhirnya kami memutuskan untuk menutup tenda, menyalakan kompor dan menghangatkan tubuh kami berdua di dalam tenda itu. Setelah suhu tubuh kembali hangat, kami berdua lanjut tidur lagi di dalam tenda. Berdua. Bersama.

Sekitar jam 07.30 gue kebangun dan langsung masak mie instant, kopi dan teh buat Dinda. Kita makan sepiring berdua sampai-sampai Dinda nyuapin gue. Selesai makan kami ngobrol berdua. Apa yang menjadi obrolan kami, biarlah kami simpan berdua saja. Ditengah obrolan yang sedang seru-serunya, tiba-tiba ada yang berteriak dari kejauhan, “Abaanggg… Dindaaaa…” dan gue langsung berpikiran kalau itu si Papap, akhirnya gue nyaut, “Iya Papappp”, “Kalian dimanaa?”, “dibawaaaahh!” bales gue cepet sambil teriak. Papap menghampiri kami mengikuti arah suara teriakan kami berasal. Begitu berjumpa, Papap langsung nanya, “Kalian nggak ke puncak?” gue dan Dinda serempak menjawab, “Udah pernahhhhh!” dan kami tertawa bersama.

“Nggak, Pap. Dinda semalam sakit” sambung gue langsung. “Iya Pap, semalem Dinda sakit” lanjut Dinda. “Ciyeee kalian so sweet banget sih” ledek si Papap. Papap pun langsung mengajak kami turun ke bawah untuk kembali ke Jakarta. Namun, karena Faisal, dkk belum kembali ke tenda, kami memutuskan untuk menunggu mereka terlebih dahulu sembari packing. Akhirnya Papap pun meninggalkan kami kembali dan turun duluan.

Begitu kami selesai packing, Faisal, dkk pun tiba. Pas banget. Dan kami segera pamitan untuk turun ke bawah dengan selipan pesan dari Faisal, “Kalo kami ke Jakarta, traktir kami kerak telor yah Bang!”, “Pasti! Kabarin yah kalo ke Jakarta” jawab gue cepat sambil senyum dan melambaikan tangan ke mereka buat say thanks dan see you.

Baru jalan beberapa langkah, gue bilang ke Dinda bahwa kita nggak punya air minum. Dan Dinda pun bilang “nggakpapa, bang”. Akhirnya kami jalan turun perlahan karena jalanan yang terjal ditambah dengan tanah yang basah sehabis hujan. Di setiap medan yang terjal, kami selalu bergandengan tangan supaya tidak ada yang terpeleset apalagi terjatuh. Bangga dan bahagia rasanya bisa bergandengan tangan dengan Dinda. Nggak cuma sekali atau dua kali loh. Tapi BERKALI-KALI *big grin*

Setibanya di pos 4, gue melihat Dinda mulai kelelahan. Kami istirahat sejenak dan pada saat gue melihat ada pendaki lain yang turun dengan bawaan air minum, gue nggak segan-segan untuk langsung memintanya. Gue biarkan Dinda minum terlebih dahulu seteguk hingga dua teguk barulah gue minum. Sama halnya begitu di pos 3, gue kembali meminta minum kepada pendaki yang sedang lewat sampai kami akhirnya keluar dari hutan. Gue nggak mau melihat Dinda kelelahan dan kehausan sekaligus. Gue cuma pengin Dinda terjaga. Iya, terjaga.

Begitu keluar hutan dan pos pemancar mulai telihat, Dinda langsung semangat mengajak gue lari. Dan kami pun berlari, bergandengan tangan, berdua dan bersama….. untuk selamanya (I Wish).

Cerita ini based on true story dari temenku yang ke Cikuray 20-22 Maret 2015 lalu. Semoga cerita ini bisa membantu mereka buat mengingat kisah romantisnya di hari tua nanti 🙂

You may also like...

2 Responses

  1. dinda kartika says:

    hmmm lebay ahh ceritanya
    gag begitu bgt kayanya ..
    hiiiikkkksssss

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Web Design BangladeshWeb Design BangladeshMymensingh