Jalinan yang Kandas

648_science-broken-heart-main

Manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Gue berencana untuk menikah dengan Rachel, tapi Tuhan menentukan hal lain.

Hotel Padma Bandung menjadi saksi bisu kandasnya hubungan kami. Disanalah kami berdiskusi untuk mencari jalan keluar dari peliknya hubungan kami yang sudah terjalin selama lebih dari 6 tahun. Dari ini gue semakin yakin bahwa cinta tak harus memiliki selamanya.

***

“Yang, kamu tuh ya nggak care banget deh. Kita mau prewed kan berdua, tapi kenapa harus aku yang urusin semuanya gini sih. Bantuin dong” pinta Rachel pada gue.
“Duh, project-ku lagi banyak. Kamu tolong bantu dulu yah” jelas gue.
“Yauda, aku pesenin tiket dan susun itinerary, kamu tolongin pesen hotel” deal kami.

Kami sudah menentukan lokasi untuk foto pre-wedding di Bali dari jauh-jauh hari dengan menggunakan jasa Axioo Photography. Menjelang hari H untuk melakukan foto prewed itu, gue menang tender untuk membangun beberapa perumahan bekerja sama dengan Agung Podomoro Land. Ibarat durian runtuh, gue butuh duit buat nikah dan gue dapet project gede. Fokus gue langsung terbagi untuk menyelesaikan project dengan foto pre-wedding. Di momen seperti ini, gue butuh bantuan calon istri gue untuk menyelesaikan urusan yang gak bisa gue handle, dalam hal ini persiapan pre wedding. Namun, gue cukup kaget begitu mendengar komplain Rachel terkait persiapan pre wedding ini. Tapi, di sisi lain gue punya pertimbangan untuk mengumpulkan uang supaya pernikahan gue bisa berjalan dengan baik.

“Yang, flight kita untuk besok GA 400 jam 05.40 di terminal 2F yah. Kita nginep dimana jadinya besok malam?” tanya Rachel ke gue.
“ASTAAAAGGGAAAAHHH!”
“Jangan bilang kamu belum pesen!” seru Rachel
“Maaf yah sayang, aku beneran lupa”
“Kamu tuh yah, emang bener-bener keterlaluan. Aku udah kasi tau kamu dari jauh-jauh hari buat pesen hotel, tapi masih gak dipesen juga. Waktu dikasi tau bilangnya iya iya doang, giliran udah mau berangkat baru deh bilang lupa”. “Aku capek, Yang!” tutup Rachel dalam pembicaraan di telfon.

Malam itu, gue langsung menuju ke rumah Rachel untuk minta maaf atas kelalaian gue sembari membawa bungkusan sepotong Red Velvet dari Convivium yang menjadi favorit dia. Gue pun ijin sama bonyok gue buat menginap di rumah Rachel supaya keesokan paginya bisa ke bandara bareng. Begitu sampai di rumah Rachel, gue mencoba menelepon dia untuk meminta tolong membukakan pintu rumah namun tak diangkat. Akhirnya si Mbok Ayu yang membukakan pintu.
“Silahkan masuk, Den”
“Non Rachel dimana mbok?”
“Kayanya udah tidur deh Den, soalnya tadi pulang kantor langsung berendam di bath up. Habis itu nggak keluar kamar lagi”
“Oke deh mbok”

Gue segera menuju pintu kamar Rachel dan mengetuknya perlahan. Tidak ada suara apapun dari dalam. Gue menunggu sejenak dan akhirnya Rachel membukakan pintu kamar. Rachel menarik tangan gue untuk masuk ke dalam kamar kemudian kami duduk saling berhadapan di pinggir kasur. Dengan senyum, gue memberikan Red Velvet yang sudah gue bawa untuknya sembari memberikan kecupan ringan di dahinya. Tidak seperti biasa yang dibalas senyum dan ciuman di pipi kanan dan kiri, kali ini Rachel menatap gue dengan tajam dan langsung ngedumel, “kamu ngapain sih dateng malem-malem?”, “Aku mau minta maaf, Yang”. “Udahlah percuma, pokoknya aku kesel banget sama kamu! Mendingan kamu pulang sekarang!!”.

Mendengar responnya yang kurang bersahabat, gue pun akhirnya memutuskan untuk keluar kamar dan mencoba menyibukan diri di ruang keluarga rumahnya. Gue tiduran di sofa sembari menonton televisi. Gue dan Rachel sudah menjalin hubungan sejak kami masih di bangku kuliah semester 3. Keluarga kami pun sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan gue pun sudah memanggil bonyok Rachel dengan sebutan Papi Mami. Sama halnya dengan Rachel yang sudah memanggil bonyok gue dengan sebutan Papa Mama sejak kami melangsungkan proses lamaran di Miss Bee setahun silam. Malam itu gue whatsapp Rachel sebelum tidur,

Malam ini aku tidur di sofa, besok pagi tolong bangunkan ya. Love you.

***
Flight attendant, prepare for landing..

Suara dari speaker membangunkan tidur gue pagi ini. Gue melihat ke arah kiri dan mendapati Rachel sedang menatap keluar jendela.

“Yang, masih marah?” tanya gue sembari meraih tangan Rachel. “Udahan dong Yang marahnya, kita mau foto pre wedding loh. Nanti hasilnya jelek kalau kita diem-dieman gini. Aku janji deh, biar lebih peduli lagi sama persiapan merit kita” lanjut gue lagi.

Rachel cuma nengok sebentar ke arah gue dan melempar senyum kecil. Gue nggak ngerti maksud dari senyuman itu, semoga saja tingkat kekesalannya sudah menurun. “Yang, nanti makan bigul Pak Malen dulu boleh gak?”. “Iya boleh” jawabnya singkat.

Mendengar jawaban Rachel yang sangat singkat, membuat hati gue sedikit ragu untuk menjalankan sesi foto prewedding ini. Pasalnya, Rachel tipically wanita pemikir yang suka bercerita apapun. Namun dua hari terakhir ini gue merasa ada sesuatu yang berubah dari dirinya. Cuma gue nggak mau mengungkapkan keraguan gue daripada tambah runyam nantinya.

Begitu dijemput oleh driver Kadek di bandara Ngurah Rai, kami langsung menuju ke jalan Sunset Road tempat Bigul Pak Malen berada. Dengan label sarapan pagi, gue langsung melahap bigul 1 porsi sampe ludes begitu pun dengan Rachel. Bigul Pak Malem merupakan salah satu makanan wajib tiap kali kami berkunjung ke Bali. Lagi lagi gue berusaha untuk membuat suasana lebih mencair, namun masih belum berhasil. Selanjutnya gue mengajak Rachel untuk take away Gusto Gelato untuk teman perjalanan menuju lokasi pemotretan pertama di Blue Point Chapel, Uluwatu.

Sepanjang perjalanan, Rachel yang biasanya bercerita tentang apapun juga kali ini dia sibuk membalas whatsapp temannya sembari senyum senyum kecil. Gue berasa mati gaya kala itu, mau ngajak ngomong takut salah ngomong, diem doang juga bosan. Gue akhirnya mengambil headset di dalam tas kemudian mencolokannya ke dalam iPhone. Gue buka Music dan membiarkan radio dengan charting now bersenandung di dalam telinga gue. Lagu pertama yang terdengar adalah lagu Want to Want Me dari Jason Derulo. Sesekali gue goyang pundak dan kepala untuk megusir rasa bosan gue dan Rachel menengok ke arah gue sembari senyum kecil. Entah bagaimana, tiap kali melihat Rachel senyum bawaanya lebih tenang. Sepanjang perjalanan menuju Uluwatu, gue dan Rachel sibuk masing-masing nggak banyak bicara.

Begitu sampai di lokasi, kami disambut oleh Adi yang menjadi PIC dari Axioo. Rachel diminta untuk langsung make up dan berganti wardrobe sedangkan gue diajak Adi ke titik lokasi pemotretan sembari menunggu Rachel selesai di make up. Setelah berputar di dalam Blue Point Villas, gue diminta untuk berganti pakaian dan sedikit touch up yang ditangani oleh Sandra.

Setelah semuanya siap, kami pun mengikuti setiap arahan dari Adi dan tim Axioo lainnya. Saat pemotretan itu, gue merasa agak canggung karena harus berciuman dengan Rachel untuk diabadikan momennya. Padahal kami berdua sedang tidak akur. Feel-nya berasa kurang. Tapi demi profesionalitas gue mencoba untuk menikmati ciuman tersebut. Gue raih bibir atas Rachel dan kemudian bibir bawahnya beberapa kali secara bergantian. Untungnya Rachel kooperatif jadi gue pun cukup menikmati ciuman tersebut. Semoga hasilnya terlihat natural.

Pose itu adalah pose paling berat buat gue untuk prewedding di hari pertama ini. Karena pose yang lainnya tidak begitu sulit seperti mengangkat Rachel, mendekatkan kedua hidung kami ataupun berjalan sembari bergandengan tangan. Pemotretan hari pertama pun selesai sekitar pukul 3 sore. Gue tanya ke Rachel selanjutnya mau kemana dan dia cuma bilang terserah. Jawaban paling ngeselin. Aselik. Terus gue tanya ke Rachel, “itinerary kamu kemana?” dan dia menjawab “aku pengin liat waterblow sih, tapi koq kayanya capek ya. Apa balik hotel aja?.” “Yauda kita liat waterblow dulu sebentar terus balik hotel yah.” “Oke” lagi-lagi jawab Rachel singkat.

***

Prewedding hari kedua berlangsung di Bukit Campuhan, Ubud. Masih dengan suasana hati yang dingin, kali ini gue dan Rachel harus beracting fun! Dengan wardrobe serba putih, Adi meminta gue untuk menggendong Rachel di belakang. Kami berdua diminta untuk tertawa lepas supaya hasilnya lebih natural. Gue membawa Rachel sembari berlari lari kecil untuk memicu senyum lepasnya. Rachel pun tersenyum seakan tidak ada apa-apa antara kami berdua. Begitu Adi teriak, “Bagusss! Dapet banget momennya” gue membawa Rachel menuju Adi untuk melihat fotonya di dalam kamera. Rasanya senang bisa menghasilkan foto yang bagus.

Selanjutnya kami harus berjalan beriringan sembari bergandengan tangan. Foto diambil dari belakang dan gue sangat bersyukur karena nggak perlu memperlihatkan raut wajah kami berdua. Entah kenapa, gue nggak yakin bagus kalau harus menunjukan wajah kami berdua. Pose berikutnya adalah kami harus melepas balon gas berwarna putih ke atas. Adi bilang ke kami bahwa kami harus sehati saat melepas balon supaya dapat momennya pas. Adi memulai aba-aba dengan hitungan satu..duaa.. dan tangan gue reflek langsung melepas tali kenur balon tersebut. Adi sontak langsung teriak, “ulang lagi yah.. ulang..” yang dilanjutkan dengan dumelan Rachel, “kamu mah, tunggu dulu dong lepasnya biar barengan. Biar hasilnya bagus”. “Iye..iyee.. nggak sengaja tadi, reflek” jawab gue. “Dih, koq jawabnya ngenyek gitu sih?” protes Rachel. “Apanya yang ngenyek sayaaaanggg? Aku kan jawabnya biasaa ajaaa. Kamu lagi PMS yah? Sensi banget belakangan ini” jawab gue sambil ngeledek. “Kamu tuh yaa, bener-bener ih ngeselin. Siapa juga yang lagi PMS” balas Rachel. “Okeeyyyy, kita ulang lagi yaaa! Kalian berdua udah siap belum?” tanya Adi. “Siaap” jawab gue cepat.

Butuh kesabaran lebih memang pada saat melakukan foto prewedding di alam terbuka. Bisa karena arah angin yang kurang stabil maupun teriknya matahari yang bisa meningkatkan emosi. Kami melakukan foto dengan prosesi lepas balon sampai mengulang 5 kali. Untungnya stok balon gas cukup dan tim Axioo sangat sabar melayani kami.

Pose berikutnya adalah gue harus menggowes sepeda dan Rachel mencoba berlari kecil mengejar gue. “Kenapa sih harus aku yang ngejar kamu? Kenapa nggak kamu yang ngejar aku?” tanya Rachel. “Mana aku tau Yang, aku kan cuma ikutin arahannya Adi aja. Mau kamu yang gowes? Nanti aku bilangin ke Adi” tanya gue. “Gausah!! Kamu mau bikin aku malu yah? Minta tuker tukeran pose? Nanti dikirinya aku banyak maunya lagi” jawab Rachel. “Yaampun Yang, aku berasa serba salah deh. Kamu maunya gimana sih?” tanya gue. “udah ayo buruan lah fotonya biar cepet selesai terus balik hotel!” tutup Rachel.

Gue mulai menggowes sepeda secara perlahan biar Rachel tidak terlalu capek, pikir gue. Namun yang terjadi, Rachel kembali protes karena dipikirnya gue nggak niat. Serba salah memang. Gue ikutin arahan Adi dan Rachel bersamaan. Yang satu minta pelan-pelan saja biar fotonya gak kabur, yang satu minta jangan terlalu pelan. Yasudah, gue ikutin saja semuanya. Hvft.

Foto prewedding hari kedua pun berakhir dengan penuh drama yang dimulai dengan bahagia dan diakhiri dengan rasa serba salah. Selesai dari sana, gue mengajak Rachel untuk makan Bebek Tepi Sawah dan kembali ke Hotel untuk beristirahat.

***

Hari terakhir prewedding berlangsung di Monkey Forest, Ubud. Rachel menggunakan gaun malam berwarna ungu dan gue menggunakan setelan jas dengan dasi kupu-kupu berwarna senada. Selesai make up, kami langsung mengikuti arahan yang Adi berikan. Tidak banyak pose yang diarahkan, sebab kombinasi gaun berwarna ungu di tengah hutan sudah mampu memberikan hasil foto yang ciamik tanpa harus susah payah berpose. Dan sesi foto kali ini hanya menghabiskan waktu 2 jam saja.

Selesai sudah rangkaian foto pre wedding kali ini dan kami langsung berkemas dan bergegas menuju ke arah bandara Ngurah Rai diantar oleh Pak Kadek. Di tengah perjalanan, Rachel meminta pak Kadek untuk diantarkan ke Pia Legong dan Pie Susu Bintang untuk beli oleh-oleh.

“Kamu beli buat siapa aja, Yang?” tanya gue.
“Buat di rumah, di kantor dan yang ini buat Pak Michael”
“Pak Michael, kepala cabang kamu?”
“Iya, dia suka banget makan pia legong dan pie susu ini. Dia bilang, paling enak makannya sembari ngopi pagi di kantor dan baca koran”
“Hooo..”
“Iya, makanya aku mau bawain khusus buat dia”
“Oke” respon gue singkat.

Pak Michael merupakan orang yang sangat dikagumi oleh Rachel semenjak dia pindah kantor cabang. Menurut Rachel, pak Michael sangat care sama anak buahnya ditambah lagi wajahnya yang tampan membuat banyak anak buahnya kesemsem, termasuk Rachel.

***
“Yang, aku langsung ke Jakarta yah malam ini. Soalnya banyak project yang harus dikebut” pamit gue.
“Kamu koq urusin project mulu sih?”
“Iya Yang, soalnya aku lagi dikejar deadline nih. Biar nanti pas kita meritan, bisa langsung honeymoon, gakpapa kan?”
“Yaaa…gakpapa sih, tapi kan..”
“Tapi kenapa? Kamu percaya aja sama aku yah, aku gak bakalan macem-macem koq. Aku cuma harus ngelarin ini semua biar cepet beres”
“Yauda deh, kabarin kalo udah sampe Jakarta”
“Sampe Jakarta, aku telfon kamu yah”
“Oke. Hati-hati”

Gue bingung mesti gimana. Sepanjang perjalanan di dalam pesawat dari Denpasar ke Bandung, gue dan Rachel sama sekali nggak ngobrol. Nggak cuma di dalam pesawat sih, selama di hotel setelah pulang dari sesi-sesi pre wedding pun, gue dan Rachel nggak banyak berinteraksi. Jujur, gue bingug salah gue apa. Masa iya hanya karena gue lupa pesen hotel sampe sedingin itunya Rachel ke gue. Di dalam bis travel Bandung – Jakarta, gue cuma diam berpikir. Sesekali gue whatsappin Rachel tapi rasanya hampa. Sekedar basa basi semata. Itu pun dibalasnya sejam kemudian. Entah lah.

Yang, aku udah sampe di rumah yah. Kamu bisa kutelfon jam berapa? Aku mandi dan beberes dulu yah sebentar.

Begitulah isi whatsapp gue untuk Rachel begitu sampai di rumah. Gue pun langsung mandi dan beberes barang yang gue bawa ke Bali kemarin. Sejam kemudian, gue coba liat henpon dan belum ada respon sama sekali dari Rachel. Gue coba telfon tapi tidak diangkat sampai akhirnya muncul notifikasi whatsapp di dalam henpon gue beberapa menit kemudian.

Aku gak bisa telfonan sama kamu sekarang.

Gue bingung kenapa Rachel ngomong begini. Gak biasanya selama 6 tahun kami berpacaran dia ngomong begini tanpa alasan. Akhirnya gue mencoba untuk meneleponnya kembali namun tak juga diangkat hingga akhirnya tidak ada sambungan sama sekali. Entah karena baterai henponnya habis atau karena di set airplane mode. Gue memutuskan untuk terlalu berpikiran macam-macam dan memilih untuk tidur.

Keesokan paginya begitu gue bangun, gue langsung reflek untuk mengecek henpon. Nggak ada kabar sama sekali dari Rachel. Gue mencoba meneleponnya dan masih saja tidak diangkat. Gue chat dia untuk menanyakan keberadaannya.
“Yang, kamu dimana?”
“Otw kantor nih”
“Pagi ini ke kantor bawa mobil?”
“Enggak, dijemput pak Michael kaya biasa. Kan semenjak aku pindah cabang, selalu dianter dan dijemput karena sejalan”
“Oh gitu. Semalem kamu dimana? Koq nggak bisa telfonan sama aku?”
“Oh, aku lagi dirumah Pak Michael anterin pia legong dan pie susu”
“Kamu di rumah Pak Michael ampe nggak bisa telfonan sama aku? Kenapa emangnya?”
“Yaa gaenak lah Yang, masa lagi bertamu malah telfonan?”
“Ya kan bisa Yang, angkat bentar terus bilang lagi di rumah Pak Michael, ini kamu, kasi tau juga enggak”
“Kamu kenapa posesif banget sih” tutup Rachel mematikan telfon dari gue.

Gue mulai merasa ada sesuatu yang ditutupi sama Rachel, tapi gue belum mau membahasnya dulu sama dia sampai semua terbukti. Gue memutuskan untuk fokus dengan deadline project sehingga komunikasi dengan Rachel pun semakin jarang. Mungkin secara frekuensi berkurang 50% dari biasanya tapi tiap malam kami tetap berkabar lewat telfon untuk menceritakan keseharian kami masing-masing.

Sayangnya tiap kali membahas tentang Pak Michael, selalu diakhiri dengan adu mulut. Lama-lama gue merasa gerah juga hingga akhirnya gue menghubungi Tiara, teman dekat Rachel untuk menemani gue datang ke kantor Rachel secara tiba-tiba.

“Tiara, lu tau gak si Rachel itu ada hubungan apa sama Pak Michael. Gue heran deh, tiap tiap kali bahas Pak Michael, kami berdua selalu ribut. Rachel selalu membanggakan Pak Michael yang care dan pengertian sama kondisi anak buahnya”
“Sebenernya gue juga kurang setuju sih kalo Rachel deket dengan Pak Michael. Soalnya kan Pak Michael sudah berkeluarga yah.”
“Tolong temenin gue dong ke kantornya. Gue mau ngobrol sama Rachel. Whatsapp gue dari kemarin gak dibales bales padahal dia udah read” pinta gue.
“Terus elu mau ngapain? Mau ngamuk-ngamuk di kantor Rachel?”
“Yaa enggak, mau ngobrol aja sama Rachel. Sekalian silahturahmi sama Pak Michael kalau ketemu. Pun, gue juga sebenarnya udah pernah ketemu koq sama Pak Michael pas kondangan. Dia nice koq”
“Trus?”
“Yaudah gitu aja”
“Oke gue mau nemenin lu, tapi gak pake ribut di kantor ya. Awas aja!”
“Iyee” tutup gue cepet.

Setibanya di Bandung, gue langsung menjemput Tiara di rumah dan segera menuju kantor Rachel. Melewati pos security, gue langsung memarkirkan mobil. Dari tempat parkir, gue melihat Rachel dan Pak Michael yang sedang bersiap-siap di lobby untuk dijemput driver. Tak mau kehilangan momen, gue langsung turun dari mobil dan menghampirinya.
“Yang, boleh ngomong bentar?”
“Kamu mau ngapain sih dateng ke kantor aku siang-siang gini? Aku tuh lagi kerja”
“Enggak, Yang. Aku mau ngobrol aja sama kamu. Dari kemarin kan whatsapp aku gak pernah dibales”
“Yauda, ngobrol di mobil aja yuk” ajak gue sembari langsung menarik tangan Rachel dan berjalan bersama menuju mobil.

Sementara itu Pak Michael masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang bagian depan. Mobil yang ditumpangi Pak Michael menuju ke tempat parkir mobil gue dan sang supir menghampiri Rachel yang ada di dalam mobil. Tanpa sengaja, sang driver mendengar percakapan kami:
“Kamu tuh ada apa sih sebenarnya dengan Pak Michael”
“Gak ada apa-apa, dia bos aku dan aku anak buahnya”
“Tapi kenapa tiap kali kita bahas Pak Michael, kita selalu adu mulut dan berakhir dengan diem-dieman begini?”
“Aku gak ada apa-apa! Kalo kamu gak percaya yaudah!” kata Rachel dengan nada kesal sembari membuang muka
“Maaf Bu Rachel, jadi mau ikut meeting atau enggak?” tanya sang driver dan Rachel pun menengok ke arah gue.
“yauda aku anterin kamu ke tempat meetingnya yah Yang” pinta gue
“Oh, maaf Pak, bilangin Pak Michael bahwa saya izin untuk tidak join meeting siang ini. Saya mau pulang saja, karena tiba-tiba badan saya ga enak”
“Baik bu” tutup sang driver.
“Loh, kenapa kamu gak jadi meeting?”
“Gakpapa! Mood aku uda drop buat ikut meeting.”
“Gegara aku?”
“Yaiyalah. Siapa lagi?”
“Aku salah apalagi sih? Emang salah kalo aku mau anterin kamu ke tempat meeting?”
“Kamu itu gak pengertian yah. Pak Michael kan udah ajak aku buat jalan bareng kesana, terus tiba-tiba aku cancel dia dan dianterin kamu. Apa kata dunia?”
“Maksud kamu?”
“Udalah gausa dibahas. Aku capek ngomong sama kamu?”
“Koq kamu ngomong gitu?” tanya gue dengan nada tinggi
“Udahhhh gausa teriak-teriak, bikin malu aja. Tuh diliatin sama security”

Gue langsung menutup pintu mobil dan menyetir keluar kantor Rachel. Gue membawa Rachel pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, kami ngobrol di ruang keluarga. Rachel selalu membandingkan gue dan Pak Michael sampe gue merasa jengah sendiri dan emosi. “Kamu tuh simpenan pak Michael yah?” tanya gue ketus. “Apa-apaan sih kamu ngomong gitu?” “Loh iya, mana ada bos yang tiap hari anter jemput karyawannya? Nungguin karyawannya lembur ampe tengah malem cuma buat anterin pulang. Apalagi si bos uda berkeluarga. Ditambah lagi nyiapin makan malem buat kamu pas lembur dan selalu dibalas dengan cepat whatsappnya” “Kamu jangan ngomong sembarangan yah. Emang kamu ada buktinya?” “Itu bukti masih kurang, Yang?” “Aku kasi tau kamu yah, Pak Michael jauh lebih perhatian dari kamu. Dia bos aku dan kamu calon suami aku, tapi bos aku lebih peduli sama aku daripada calon suamiku sendiri. Dia sangat tau dengan detil apa yang lagi aku butuhkan, apa yang aku gak suka, dll. Kamu? Kamu terlalu sibuk dengan pekerjaan dan deadline deadline kamu!!” jelas Rachel.

Gue sempet diam sejenak dan memutar otak bagaimana mengakhiri adu mulut ini. Rachel pun ikut terdiam sembari melipat kedua tangannya dan merebahkan punggungnya di sofa. “Terus kamu maunya apa?” tanya Rachel tiba-tiba. “Gimana kalo kamu gausa dianter jemput lagi sama Pak Michael. Kamu bisa kan nyetir sendiri ke kantor?” “Nyetir apaan Yang, mobil cuma ada 2, yang satu kan dipake Papi dan yang satunya standby di rumah kalo Mami mau kemana-mana” “Kan ada Pak Badrul yang bisa anterin kamu, kenapa gak sama Pak Badrul aja?” “Mendingan sama Pak Michael lah Yang, sejalan koq. Di jalan juga bisa banyak ngobrol. Pak Badrul jadi gak perlu bolak balik” “Jaga perasaan aku lah Yang” “Emang kamu bisa jaga perasaan aku? Ngapain kamu pake dateng ke kantor segala?” “Aku susah hubungin kamu dari kemarin, terus aku mesti gimana? Kita udah mau merit loh Yang, masa iya sepasang calon pengantin mau komunikasinya aja susah banget?”

***

“Ngapain Mama telfon si Mami? Kamu ngomong apa ke Mama?” tanya Rachel mengawali pembicaraan di telfon. “Kamu tuh manja banget yah, apa-apa laporan ke Mama. Selesein berdua lah kalo ada masalah apa-apa, gak perlu Mama sampe tau?” lanjutnya.
“Tiap kali kita ketemu berdua yang ada adu mulut, ribut dan ribut. Mau sampe kapan?”
“Mami bilang ke aku kalo Mama mau ketemu kita berempat buat menyelesaikan semuanya” jelas Rachel.
“Maksudnya menyelesaikan semuanya tuh bagaimana?”
“Nggak tau lah, aku gak ngerti. Aku udah bilang ke Mami mau menunda pernikahan kita”
“Loh kenapa?”
“Ya gakpapa. Udah ya, aku dipanggil pak Michael nih keruangannya”

Lagi-lagi nama Pak Michael yang terlontar. Rasanya pengin gue labrak tuh si Pak Michael. Tapi gak ngerti juga bagaimana harus melabraknya dan kenapa pula harus melabrak. Pikiran gue kalut, gue coba curhat ke Ferry, sahabat gue. Gue minta Ferry buat menemani gue ke X2. Rasanya pengin menghilang sesaat dan berharap besok pagi Rachel membangunkan gue dengan kecupan di kening sembari membawa nampan berisikan 2 lembar roti panggang dan segelas susu seperti dahulu waktu kami liburan bersama ke Kuala Lumpur. Ah, rasanya gue terlalu banyak berharap.

***

Sekitar pukul 10.35, Pak Burhan, perwakilan dari Agung Podomoro Land (APL) mengajak gue meeting di Starbucks Citos. Gue langsung lompat dari kasur dan bersiap-siap untuk ketemu beliau. Gue langsung tancap gas menuju Citos supaya tiba tepat pukul 11.30 di lokasi. Gue duduk di kursi depan setelah memesan cappuccino hangat sembari menghisap sebatang rokok dan menunggu kedatangan Pak Burhan.

Kalau nggak sibuk, tolong telfon Mama

Begitulah notifikasi yang muncul di layar henpon dan gue langsung menelepon Mama sembari menunggu kehadiran Pak Burhan. “Kenapa Ma?” “Barusan Maminya Rachel telfon Mami untuk ajakin ketemuan bertiga”. “Maksudnya bertiga?” “Iya, Mama, Rachel dan Maminya. Tapi Mami gak mau karena nggak ada kamu. Katanya Rachel mau jelasin sebenarnya apa yang terjadi diantara kalian. Tapi kalau begitu, berarti Mami cuma dengerin doang dong. Mami maunya sekalian, kalian masing-masing semuanya klarifikasi versi kalian”, “Oh gitu, yauda aku konfirmasi ke Rachel dulu yah terus infoin Mama lagi.” “Oke nak, take care ya kamu.” “Thanks, Ma”.

Tepat setelah gue menutup telepon, Pak Burhan menepuk pundak gue dan kami mulai meeting membahas perkembangan pembangunan perumahan yang sudah kami sepakati sebelumnya. Beliau meminta gue untuk menambah man power supaya pekerjaannya cepat selesai, namun gue bilang bahwa gue harus memikirkan dan mengkalkulasi ulang kebutuhan biayanya. Pak Burhan juga menchallenge gue, jika gue bisa menyelesaikan pekerjaan sebelum deadline maka dia akan memberikan tambahan bonus buat gue dan tim. Menggiurkan.

Gue berpikir keras bagaimana caranya biar bisa mendapatkan bonus tersebut. Lagi lagi gue berpikir bahwa akan sangat lumayan jika gue bisa dapat suntikan dana buat pernikahan gue. Tapi di sisi lain gue masih berpikir keras tentang maksud dari Rachel yang ingin menunda pernikahan. Complicated.

“Yang, Mama bilang ke aku kalau Mami cuma mau ketemuan bertiga. Kenapa begitu yah?”
“Mana aku ngerti!”
“Loh, kata Mama, si Mami minta gitu berdasarkan request kamu?”
“Udah ah, aku gak mau urusin soal yang begini-beginian!”
“Apa-apan sih kamu Yang? Kita nikah tinggal 2 bulan lagi tapi masih aja ribut-ribut gini. Pantesan Papa dulu nggak ijinin aku buat menikah dulu”
“Oh jadi selama ini Papa gak ijinin kita menikah?”
“Bukan gitu Yang, aku kan udah cerita sama kamu. Papa melihat aku belum mapan secara finansial, masih jatuh bangun urus project tapi karena Mama sangat support hubungan kita yang sudah 6 tahun ini, akhirnya Papa luluh juga. Kamu lupa aku pernah cerita?”
“Inget”
“Ternyata bener-bener susah Yang ngurusin project-an”
“Sama susahnya kaya aku bisa dapetin perhatian kamu”
“Yailah Yang, kamu dukung aku dulu dong”
“Kamu selalu minta dukungan, tapi gak pernah care sama aku. Masa iya, calon suami aku tidak lebih peduli daripada orang lain?”
“Bukan gitu Yang, aku kan juga lagi dikejar deadline”
“Selalu aja deadline jadi alasan. Aku belom siap menikah sama kamu kalau kaya gini!”
“Loh koq gitu, bukannya kamu seharusnya mendukung aku Yang?”
“Aku gak cuma butuh duit, duit dan duit. Aku juga butuh waktu dan perhatian”
“Yaa gimana dong Yang?”
“Apanya yang gimana? Kamu emang gak punya inisiatif. Udahlah, aku capek” tutup Rachel.

Jujur saja belakangan ini setiap kali teleponan sama Rachel dan ditutup dengan nada kesal, gue cuma bisa pasrah. Gue nggak ngerti lagi apa yang harus gue lakukan. Gue cari duit mati-matian buat bayarin DP ini itu tapi tetap tidak begitu dipandang sama Rachel. Gue pun lelah, emosi terkuras dan hati mulai merasa hampa.

Gue coba mengajak Rachel untuk menyelesaikan semua kebuntuan yang kita alami. Gue datang ke Bandung secara tiba-tiba dan izin ke Papi buat ajak Rachel ke Hotel Padma, tempat pertama kali gue menyatakan cinta. Gue pengin mengenang momen-momen indah bersama Rachel disana. Gue pengin kami menghabiskan waktu berdua seperti awal awal kebersamaan kita. Bercerita, bercanda dan tertawa.

Namun tidak untuk kali ini, Rachel menatap kedua mata gue sambil bicara: “Aku sudah putuskan, bahwa lebih baik kita membatalkan pernikahan kita. Aku capek ribut terus sama kamu. Mungkin Tuhan sudah menetapkan jodoh kita masing-masing dan ternyata kamu bukan jodohku. Kuharap kamu bisa menemukan jodohmu di waktu yang telah tentukan. Terima kasih buat semua yang sudah kamu berikan ke aku dan ini kalung serta cincin yang sudah kamu berikan, aku kembalikan.” Gue cuma bisa diam dan memberikan tatapan kosong pada Rachel.

Tamat.

You may also like...

2 Responses

  1. duh, mana gue juga udah mau nikah beberapa bulan lagi. mudah2an semuanya berjalan lacar. amin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Web Design BangladeshWeb Design BangladeshMymensingh