Aku di Merbabu
“Mbak Ea mau minum nggak?” tanya Randy dan saya hanya menggelengkan kepala. “Masih semangat nggak mbak Ea?” tanya Fahri selanjutnya, dan saya hanya tersenyum sembari mengangguk. Randy dan Fahri adalah dua teman saya yang mendaki bersama. Melihat respon saya yang hanya seperti itu, Randy cengok sambil bicara, “Buset deh mbak Ea nggak mau ngomong sama sekali”. “Engap, Ran!” timpal saya cepat.
Saat itu kami sedang menanjak menuju pos 1 gunung Merbabu dari basecamp. Selisih ketinggian antara keduanya adalah 102 meter dan jalur yang kami lewati berupa tanjakan di sepanjang jalan dengan kemiringan kira-kira 30 derajat. Ditengah hutan lebat homogen, jalur berbatuan yang agak licin karena sehabis hujan serta udara yang cukup dingin, membuat saya harus menghemat energi biar tidak cepat lelah. Kami melewati jalur pendakian Wekas, dimana berdasarkan informasi yang saya dapat sebelumnya dari Mas Eko, sesepuh yang bareng sama kami juga, dibutuhkan waktu 8 jam untuk mendaki sampai puncak. Kebayang dong? Apalagi saya newbie dan saat ini berat badan berada di titik tertinggi lagi gendut-gendutnya.
Hari itu, Sabtu 14 Maret 2015, kira-kira pukul 11.00 WIB dimana jalur pendakian Wekas tidak terlalu ramai dengan pendaki lainnya. Kami mendaki berempat plus Simbah, sesepuh pendakian dari Magelang yang kami kenal saat berjumpa di basecamp. Kami terus melanjutkan pendakian perlahan-lahan sambil berkali-kali berhenti untuk sekedar meluruskan kaki atau tarik napas panjang. Simbah yang melihat saya mulai renta, meminjamkan trekking pole-nya untuk saya gunakan. Saya menyambut dengan hati riang gembira tiada tara. Terus melangkah dengan bantuan trekking pole, akhirnya saya menemukan sebuah pohon dengan tulisan pos 1. Saya segera meletakkan daypack dan memeluk erat pohon tersebut dengan bangga.
Duduk di batang pohon sembari bersandar pada pohon lain di sikunya dengan menggunakan bantal leher, membuat saya cukup rileks. Sesekali saya mencoba memejamkan mata berharap bisa tidur, tapi saya gagal. Akhirnya, saya mulai makan choki-choki yang sudah saya siapkan jauh-jauh dari Jakarta. Setelah ritme napas mulai teratur, mulailah saya berulah. Pake lipstik, foto-foto ala tongsis (padahal trekking pole) sampai dengan pecicilan kesana kemari buat minta difotoin biar hits. Sedangkan, Simbah, Fahri dan Randy sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang bikin kopi, merokok, foto-foto dan ada juga yang cuma duduk diam mengatur napas. Mas Eko? mungkin dia masih tidur cantik di meeting point awal, makam Ki Hajar Doko. Kami berempat memang jalan duluan setelah meeting point awal, meninggalkan mas Eko yang sedang tidur.
10 menit sebelum kami melanjutkan pendakian, Mas Eko datang sambil lari-lari dengan menggendong carrier yang lebih besar dari tubuhnya, bak pelari yang bertarung untuk cepet-cepetan mencapai garis finish. Saya cuma bengong melihatnya, antara heran dan kagum. Setelah ngobrol sebentar, kami berempat kembali melanjutkan pendakian menuju pos 2 dan kembali meninggalkan mas Eko. Beliau memang sangat terkenal dengan imej “Pendaki Woles”, jadi kami pun tak perlu merasa bersalah meninggalkannya sendirian.
Mulai mendaki menuju pos 2 dengan medan yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya, membuat keengapan kami (saya khususnya -red) semakin membuncah. Seringkali saya teriak, “Mbah istirahat dulu!” kemudian langsung duduk di sembarang tempat yang bisa saya dudukin. Entah itu batu besar, tanah ataupun batang pohon yang terjatuh. Kembali menghela napas panjang dan meluruskan kaki sampai sekiranya saya sanggup melanjutkan pendakian. Terus melangkah, terus mendaki, dan dikala semangat mulai pudar, saat itulah celotehan “15 menit lagi sampe” saya dengar berulang kali. Entah yang berkata itu Simbah, Fahri ataupun Randy. Yang saya tau, ungkapan “15 menit lagi sampe” hanya untuk mengobarkan semangat saja, padahal mah jarak yang ditempuh masih jauh. Sampai akhirnya, karena merasa sudah lelah nggak sampe-sampe, begitu Simbah ngomong, “semangat Mba Ea, 15 menit lagi kita sampe”, saya langsung menimpali dengan cepat, “ah sudahlah mbah, saya dibohongin terus”. “Loh, enggak, ini beneran mau sampe” jawab Simbah. Setelah saya berjalan dengan tertatih-tatih, saya melihat dataran dengan beberapa tenda yang sudah terpasang. Ternyata Simbah tidak bohong!!
Saya langsung tersenyum bahagia, menghirup udara segar sambil melihat pemandangan yang sangat memanjakan mata. Hamparan bukit hijau cantik dan ranting pepohonan yang sudah mati serta diselimuti kabut rasanya sudah lama sekali tidak saya jumpai. Bagaikan orang kota yang norak melihat alam, saya, Randy dan Fahri langsung foto-foto biar semakin eksis. Lain hal-nya dengan Simbah, Ia dengan sigapnya mencari ranting pohon, membongkar fly sheet dan membangunnya untuk tempat masak.
10 menit berlalu dan mas Eko pun tiba. Ia langsung membongkar carriernya untuk membangun tenda bersama Fahri dan Randy. Saya? cuma duduk melihat mereka membangun tenda sembari menghabiskan teh manis yang ada di termos yang diberikan oleh Mas Eko. Bahagia itu sederhana.
Setelah tenda terpasang, saya langsung bongkar carrier dan masak-masak buat makan siang kami. Bermodalkan brokoli, sosis daun bawang, sarden balado, bumbu masak dan beras yang kami bawa, jadilah makanan kami seperti ini. Kelezatannya nggak usah ditanya lagi yah, kalau makan di gunung apapun enak. Mau itu keasinan, nasi kelembekan, cabe kegigit, semuanya enakk. Percaya deh!
Selesai makan siang, dikala yang lain sibuk main kartu remi, saya sibuk memasukan tubuh ke dalam sleeping bag untuk bobo cantik ngelempengin pinggang, sambil sesekali ikut meledek Fahri yang ngocok kartu terus. Entah dia bloon atau emang nggak pinter, tiap kali main remi selalu kalah. Mungkin ini yang dinamakan takdir.
Ketika senja mulai tiba, Mas Yono, teman Simbah yang baru saja sampai di pos 2 teriak mengarah ke tenda kami, “Sunsetnya bagus banget nih”. Mendengar hal itu saya dan Randy langsung ngacir keluar tenda. Tidak lupa memakai jaket pink biar hits untuk menahan dinginnya udara senja kala itu. Melihat sunset yang sangat cantik dan rupawan, saya bersama Randy dan Mas Yono langsung mengabadikan gambar secara bergantian. Pendaran warna putih, kuning, oranye dan ungu membuat saya betah berlama-lama hanya untuk memandangi langit kala itu.
Kami juga sempat berpindah lokasi untuk menikmati langit dari sisi yang berbeda. Sisi dimana kami bisa melihat juga gunung Sindoro Sumbing. Ah, priceless.
Selesai menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan yang sangat luar biasa cantik, kami kembali ke tenda masing-masing. Hujan mulai turun membasahi camp ground. Dinginnya udara malam, membuat perut kami bergejolak menari dengan luwesnya. Saya bergegas untuk mengupas kentang dan langsung memotong menjadi potongan yang lebih kecil dan merebusnya. Ceritanya malam itu saya mau masak perkedel dan mie instant. Saya dibantu mas Eko untuk masak, sedangkan Randy dan Fahri sibuk mengumpulkan energi tidur untuk summit attack jam 1 paginya. Simbah datang menghampiri tenda kami sambil berbicara dengan bahasa Jawa dengan Mas Eko. Ketika 2 sesepuh berdiskusi, munculah kesepakatan bahwa summit attack lebih baik jam 4 pagi supaya istirahatnya cukup. Dan saya cuma senyum senyum sendiri tidak mengerti keseluruhan pembahasan mereka.
Begitu makanan siap dihidangkan, saya membangunkan Fahri dan Randy untuk makan bersama. Makanan yang sangat nikmat! Apalagi ada mie instant, makanan yang sulit ditolak.
Setelah selesai makan, kami langsung beristirahat supaya bisa bangun jam 3 pagi untuk siap-siap summit attack. Saya pasang alarm dan kami mencoba memejamkan mata sambil sesekali saling meledek sampai akhirnya tertidur dengan lelap. Jam 3 pun tiba, alarm berbunyi dan saya langsung snoozing dengan alasan masih ngantuk. Selang 30 menit, alarm berbunyi kembali dan akhirnya saya mulai ngerusuh untuk membangunkan Fahri, Randy dan Mas Eko. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk membangunkan mereka : (1) berteriak, “Selamat Pagi, Ayam”, (2) membuka pintu tenda dan membiarkan udara dingin masuk ke dalam dan (3) cubitin mereka satu-satu! IT WORKS, GUYS. Kemudian kami packing supply makanan buat summit attack, raincoat, head lamp, sarung tangan, kupluk dan peralatan lain yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu. Sebelum memulai perjalanan, kami berdoa bersama supaya selamat sampai tujuan. Mas Eko yang memandu jalan berjalan paling depan, dilanjutkan saya, Randy dan Fahri. Pagi itu sangat gelap sekali, saya cuma pasrah mengikuti langkah kaki Mas Eko yang diterangi oleh head lamp. Saya tidak tau medan yang saya lalui itu seperti apa, saya cuma ingat bahwa saya manjat-manjat unyu, ngelonjor kece, pegangan ranting dengan anggun, ngelewatin tanah basah dengan feminim dan berjalan pada jalur berbatu dengan sangat hati-hati.
Sampai akhirnya langit mulai terang dan saya menyadari bahwa saya terperangkap dalam hutan dengan pepohonan tinggi dan jalan yang terjal. Rasanya pengin balik ke tenda buat melanjutkan tidur lagi, namun begitu melihat keindahan alam, rasa lelah, engap, capek terbayarkan semuanya. Kami tiba di pertigaan setelah mendaki selama 95 menit. Ah, Aku diatas awan! Klik! Klik! Klik! kami berfoto dengan hati ria.
Disana kami berjumpa dengan pendaki-pendaki lain dengan satu tujuan. Yap! Menuju puncak. Ada yang dari Magelang, Semarang dan ada juga yang dari Jakarta. Ironi adalah ketika si pendaki yang berasal dari Jakarta berkata kepada kami, “kalo di Jakarta, kita mah belum tentu ketemu yah, giliran di gunung baru deh ketemu” well, hidup di Jakarta keras, bung! 🙂
Kira-kira 10 menit kami beristirahat, kemudian kami melanjutkan perjalanan kembali sampai akhirnya menuju puncak Kentheng Songo di ketinggian 3142 mdpl. Butuh waktu 117 menit dari pertigaan menuju ke puncak dengan melewati bukit bukit, naik turun, pegangan sana sini, istirahat berkali-kali, mencoba mengatur napas, berkonsentrasi, mengatur langkah dan sebagainya sebagainyaa. Saya tidak sempat untuk mengambil gambar medan pendakian, karena saya lebih menjaga stamina agar tetap fit sampai puncak. Boro-boro mau pegang handphone, mendigan saya pegang tumpuan deh :p Kalau mau lihat medan pendakian gunung Merbabu, bisa cek disini ya.
Sebelum sampai puncak, saya melewati jembatan setan yang sangat terkenal dikalangan pendaki gunung Merbabu. Jembatan dari batu yang hanya bisa dilewati satu orang sambil berpegang pada batu di depannya. Pada saat saya melewati jembatan itu, saya cuma bisa bilang, “jembatan itu menantang dan membuat tegang”.
Dari jembatan itu, kami tinggal menanjak 2 kali lagi sampai akhirnya mencapai puncak Kentheng Songo. Di puncak, kami bisa melihat gunung merapi, samudera awan dan pemandangan yang belum pernah saya lihat sebelumnya tapi saya sulit mendeskripsikannya. Ah biarlah foto yang berbicara.
Itinerary
Jumat, 13 Maret 2015
06:10 – 12:30 : Perjalanan dari Pasar Senen menuju Semarang Poncol |12:30 – 13:50 : Lunch | 13:50 – 14:15 : Menuju terminal terboyo, turun di Rumah Sakit Islam (naik angkot) | 14:15 – 16:00 : Menuju Pasar Sapi, Salatiga (naik bis jurusan Semarang – Solo | Dari pasar sapi carter mobil menuju basecamp jalur Wekas, jaraknya sekitar 25 KM. Istirahat di Basecamp
Sabtu, 14 Maret 2015
09:45 – 11:30 : Perjalanan dari basecamp sampai dengan Pos 1 | 11:30 – 12:10 : Istirahat di Pos 1 |12:10 – 14:00 : Perjalanan dari Pos 1 menuju Pos 2 | 14:00 – …. *free time*
MInggu, 15 Maret 2015
04:30 – 06:05 : summit attack, perjalanan dari pos 2 menuju pertigaan | 06:05 – 06:15 : istirahat di pertigaan |06:15 – 08:15 : perjalanan dari pertigaan menuju puncak kentheng songo | 08:15 – 09:45 : enjoy summit | 09:45 – 11:30 : perjalanan dari kentheng songo menuju pos 2 | 11:30 – 13:30 : packing | 13:30 – 15:00 Perjalanan dari pos 2 menuju basecamp
Dari basecamp ke Pasar Sapi, dilanjutkan ke terminal terboyo dan stasiun Semarang Poncol untuk kembali ke Jakarta.