Menggapai (Mimpi) Rinjani
Excited! Mungkin kata itulah yang cocok menggambarkan perjalanan gue ke Rinjani maupun pada saat gue menuliskan cerita menggapai (mimpi) Rinjani ini. Banyak proses yang gue lalui hingga akhirnya gue bisa mewujudkan impian tersebut.
Gue pengin ke Rinjani sejak tahun lalu sekitar bulan Juni 2015 sepulangnya dari Semeru. Tapi begitu gue sampai rumah, nyokap langsung minta gue untuk enggak naik gunung lagi. Alasannya sederhana dan sangat gue maklumi yaitu kekuatiran dirinya akan anak perempuannya yang tunggal ini kalau terjadi apa-apa saat mendaki gunung yang penuh resiko. Tapi, karena gue pengin banget akhirnya negosiasi ibu dan anak pun terjadi dan dihasilkan sebuah keputusan bahwa Rinjani adalah gunung terakhir yang akan gue daki selebihnya gue akan gantung keril.
Setelah izin gue dapatkan dari nyokap, selanjutnya gue mencari partner yang sama-sama mau mendaki Rinjani. Cukup butuh waktu panjang buat membujuk sana sini dan pada akhirnya semesta mendukung. Belum berakhir sampai disitu, dikarenakan gue baru pindah kantor juga yang berarti belum dapat cuti di tahun pertama, gue harus hutang cuti dari jauh-jauh hari. Bersyukur bahwasannya Tuhan merestui semua bisa terjadi hingga akhirnya gue bisa berangkat ke Lombok tanggal 30 Juni 2016.
Tiba di Lombok, gue menginap semalam di desa Senaru sebelum memulai pendakian keesokan harinya. Gue dijelaskan oleh Mas Slamet dari RinjaniTreks terkait dengan rute pendakian. Gue akan memulai pendakian hari Jumat sekitar jam 9 pagi dari Sembalun. Di hari itu gue langsung menuju camp site di Plawangan Sembalun dan tengah malam langsung summit. Dari sana menuju Danau Segara Anak untuk tidur semalam serta menikmati keindahan danau dan dilanjutkan menuju Pos 2 Senaru keesokan harinya untuk bermalam sebelum kembali ke Senaru. Sangat excited mendengar penjelasan Mas Slamet dan gak sabar pengin memulai perjalanan.
Jumat pagi, gue diantar ke Pos Pendakian Sembalun. Waktu tempuh dari desa Senaru ke Sembalun kurang lebih 1 jam. Kalau mungkin kalian bertanya mengapa menginapnya di desa Senaru alasannya adalah supaya gue bisa menitipkan barang disana sehingga pada saat sekembalinya nanti via Senaru tidak perlu repot-repot untuk mengemasi barang yang gue titipkan 🙂 cukup menjawab kan?
Sebelum mulai mendaki, gue registrasi dahulu di pos pendaftaran dan barulah pendakian dimulai. Gue ditemani oleh Ade (teman gue dari Jakarta), Mas Foan sebagai guide, Mas Adi serta Mas Ari sebagai porter.
Setelah setahun tidak trekking dan kurangnya persiapan fisik, rasanya kaki sangat berat untuk melangkah kala itu. Gue mulai maju selangkah demi selangkah sembari mencoba menikmati pemandangan yang ada. Tapi fisik nggak akan bohong, susah sekali untuk menjaga konsistensi napas hingga akhirnya gue bilang ke mas Foan,”jalan duluan aja mas, gue aman di belakang.” Mungkin selangkahnya gue cuma setengah langkahnya mas Foan dan yang lain. Kala itu gue cuma berpikir, jalan pelan dengan napas yang konsisten. Beruntungnya pemandangan dari titik trekking menuju pos 1 adalah sabana luas. Jadi walaupun gue jalan sendirian di belakang, gue nggak ngerasa kesepian :p
Pada saat gue sedang jalan sendirian, beberapa kali gue dilewati banyak porter yang membawa barang di pundaknya dengan berat berkisar 30-50kg. Dengan langkah pasti dan hanya menggunakan sendal jepit mereka membawa barang bawaannya dengan santai. Tidak hanya porter, gue juga dilewati beberapa pendaki lain bersama guide mereka. Kala itu, pendaki yang sering gue jumpai adalah foreigner dari Malaysia, Singapore dan Jerman. Mungkin karena bulan puasa, jadi pendaki lokalnya tidak begitu banyak.
Pemandangan menuju pos 1 Sembalun bener-bener cantik. Hijaunya sabana yang dipadu dengan langit biru yang sangat bersih membuat rasa lelah gue sedikit berkurang. Belum lagi pemandangan alam hijau lainnya yang bikin mata seger.
Rencana awal, kita mau makan siang di Pos 2, namun saking lambatnya kita trek bagai siput, akhirnya Mas Foan mengajak makan siang di Pos 1. Siang itu makanan yang disiapin oleh porter enak banget. Nasi putih, capcay dengan saus asam manis, ayam goreng, tahu goreng dan kerupuk. Sungguh mewah! Seumur-umur baru pertama kali naik gunung dengan makanan yang seperti itu. Nggak hanya kami yang makan di pos 1, beberapa rombongan lain pun juga makan disana. Di Pos 1, kami juga berjumpa dengan Suria dan Aji yang mana porter mereka, Mas Yudi, adiknya mas Adi porter kami. Jadilah untuk selanjutnya kita trek bersama.
Selesai makan siang, gue melanjutkan perjalanan ke Pos 2 dan Pos 3. Medan trekking menuju pos 2 dan pos 3 masih di dominasi oleh sabana hijau nan luas dengan langit biru yang bersih. Tidak begitu menemukan kesulitan saat trekking disini, karena medannya cukup datar.
Melanjutkan perjalanan dari pos 3, gue menemui banyak bukit-bukit yang mengharuskan gue menanjak dan menurun dengan sedikit saja bonus jalan datar. Banyak pendaki yang bilang rute pos 3 menuju Plawangan Sembalun adalah bukit penyesalan. Secara pribadi gue akui medannya cukup berat ditambah fisik yang mulai lelah berjalan dari pos 1 sampai pos 3. Medannya pun cukup variatif, batuan, hutan dan rerumputan tinggi.
Sering banget gue minta istirahat ke Mas Foan. Bahkan saking seringnya dan gue jadi gaenak ati sendiri, gue minta mas Foan jalan duluan aja ninggalin gue karena dia bawa 2 keril, jadi kalo dia nungguin gue jalan akan semakin terasa berat. Tapi dia nggak mau, dia tetep nungguin gue pelan-pelan ditambah langit mulai gelap. Di bukit terakhir sebelum sampai di Plawangan Sembalun, mas Foan meminta keril gue untuk dibawakan. Gue gakmau kasi diawal karena gak tega. Tapi engkel kaki juga udah mulai lelah. Akhirnya gue kasi keril gue ke mas Foan dan gue berjalan tanpa membawa keril. Lumayan meringankan beban gue tapi kaki udah gak bisa diajak kompromi. Langkah semakin lambat dan fokus mulai pudar.
Di tengah gelapnya hutan, tiba-tiba ada seorang wanita di belakang kami yang teriak minta tolong. Saat itu kami tidak menghiraukan karena untuk membawa diri sendiri saja kami sudah kesulitan bagaimana mau membantu orang lain. Kemudian, gue bilang mas Foan untuk jalan duluan dan membiarkan gue bersama Ade jalan perlahan. Kami pun mencapai kesepakatan bahwa mas Foan akan jalan duluan menuju Plawangan Sembalun dan kita berdua jalan di belakang. Setibanya di tenda dan selepas meletakan keril, mas Foan akan kembali menjemput kami berdua. Kami berdua hanya dititipkan pesan untuk berjalan menuju pohon diatas. Jarak saat kami berpisah dengan mas Foan tidak terlalu jauh karena 15 menit kemudian kami sampai. Tapi persoalannya adalah kami berdua kehilangan jalur. Saat mencari jalur di tengah gelapnya malam, kami malah menjumpai pohon-pohon yang tingginya sepinggang. Gue dan Ade sadar bahwa kami sudah keluar dari jalur tapi kita berdua sepakat untuk terus jalan kedepan menerabas pohon. Hanya lurus saja, tidak ke kanan maupun ke kiri. Patokan kami hanya pohon tinggi yang sudah kami bahas bersama.
Setibanya di pos Plawangan Sembalun, kami tidak tau yang mana tenda kami dan mas Foan pun tidak kunjung muncul batang hidungnya. Saat gue bertanya pada salah seorang guide yang ada disana, akhirnya mereka meminta gue untuk menunggu mas Foan di tenda mereka. Gue disuguhi teh manis hangat untuk menetralisir rasa lelah gue. Lalu beberapa menit kemudian, mas Foan datang dan mengajak kami ke tenda. Kaki gue udah gak bisa diajak kompromi. Pegel luar biasa. Akhirnya mas Foan narik tangan gue sembari terus berjalan menuju tenda. Cukup jauh letak tenda gue dan posisinya diatas sehingga gue harus mendaki sedikit lagi. Untungnya tangan gue ditarik, jadi lumayan meringankan beban. Gue tiba di tenda sekitar pukul 20.00. Aji dan Suria yang sudah tiba terlebih dahulu menyambangi tenda kami dan bercakap sebentar. Gue yang udah kelelahan memilih untuk menaikan kaki diatas tumpukan sleeping bag sembari menunggu makan malam jadi. Selesai makan dan beberes, mas Foan bilang bahwa jam 2 akan summit dan sebelumnya akan disiapkan sarapan buat kami. Gue cuma pesan, “yauda mas nanti bangunin aja yah” dan gue pun tidur dengan pulesnya.
Entah jam berapa kami dibangunkan, kami diberikan sarapan roti panggang. Gue cuma makan beberapa lembar roti dan bersiap diri untuk summit. Perjalanan summit pun dimulai. Gue cuma berjalan sambil menunduk dan menerangi jalan menggunakan headlamp. Gue nggak tau medan yang gue lalui seperti apa hanya terus berjalan perlahan sampai akhirnya fajar menyingsing dan gue mendapati medan pendakin berupa kerikil dan pasir. Seperti yang udah pernah gue rasakan tahun lalu, berjalan di medan seperti ini butuh kesabaran dan kemauan keras. Sebab 2 langkah maju, 1 langkah mundur.
Sesekali gue menengadah ke atas melihat puncak yang seakan dekat dengan gue tapi nyatanya masih butuh berjam-jam untuk tiba. Gue terus melangkah perlahan dengan penuh keyakinan. Bahkan ketika beberapa ratus meter lagi hendak sampai puncak, banyak bule yang mulai turun. Gue sempet iri sama mereka karena dikala gue masih berjuang, mereka sudah turun dengan selorotan santai.
Gue sering putus asa mau menyudahinya tapi begitu gue nengok ke belakang dan menyadari sudah jauh gue melangkah, gue lanjutkan lagi langkah gue. Di beberapa puluh meter terakhir gue cuma fokus ke bawah, mengatur napas sembari sesekali menikmati pemandangan sekitar.
Dengan usaha keras dan keyakinan serta kaki yang rasanya udah mau patah, akhirnya gue sampai di atas. Disana pun gue gak terlalu lama, paling hanya 20 menit. Angin yang kencang dan temperatur yang rendah, bikin gue gak betah lama-lama disana. Selebihnya gue milih duduk di bawah, di samping batu besar dan makan untuk menambah energi.
Dari puncak Rinjani, bisa lihat dengan jelas Danau Segara Anak, gunung Barujari, gunung Agung dan Gili Island jika tidak tertutup dengan kabut.
Berbeda dengan pendakian, menuruni puncak pun butuh effort tapi memang gak sebesar effort saat mendaki. Medan kerikil berpasir mengharuskan gue berhati-hati supaya tidak terpeleset.
Namun saat menuruni puncak, kita bisa lihat pemandangan yang sangat indah disekitar puncak Rinjani. Its priceless.
Kembali ke tenda, gue langsung tidur dan kembali menaikan kaki diatas tumpukan sleeping bag. Gue tidur selama kurang lebih 1 jam kemudian terbangun karena panasnya terik matahari yang menyinari tenda. Akhirnya gue packing keril dan bersiap untuk ke destinasi berikutnya yaitu Danau Segara Anak setelah makan siang.
Untungnya perjalanan menuju danau ditempuh dengan cuaca yang adem dan banyak kabut. Mungkin kalau panas terik, gue bisa cranky. Pasalnya medan yang ditempuh kebanyakan bebatuan yang mengharuskan gue manjat sana-sini. Belum lagi jalurnya hanya bisa dilewati satu per satu. Cuma, kalo ada porter yang akan lewat sudah seharusnya kita memberikan jalan kepada mereka duluan.
Di satu point tempat kita istirahat saat perjalanan menuju danau, kita akan disuguhkan pemandangan yang sangat indah. Perbukitan dengan background bukit tinggi yang tertutup kabut. Adem banget istirahat disana.
Begitu sampai di danau, mas Foan mengajak kami untuk berendam di Hot Spring dekat sana. Bener-bener ajaib banget ciptaan Tuhan, ditengah gunung yang dingin Dia menciptkan hot spring yang berasal dari perut gunung Barujari untuk umatNya melepas lelah. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?
Selesai mandi air panas, kami disuguhkan soto sayur dan telur. Enyaak!! Malam itu gue memilih makan di depan danau sambil gelar karpet. Suasana terasa lebih hangat sembari ngobrol bareng sama Mas Foan, Ade dan Suria. Suria menunjukan obat semprot untuk mengatasi rasa pegal dan gue minta buat lutut kanan gue yang sepertinya ada urat yang ketarik. Kalau pas menjadikan kaki kanan sebagai tumpuan saat nanjak rasanya udah mau nangis. Syukurlah obat itu bekerja dalam tubuh gue. Oiya nama obatnya: Zheng Gu Shui. Lebih menyerupai arak sih, menurut gue.
Di Danau Segara Anak, banyak banget bintangnya di langit. Sebenarnya saat di Plawangan Sembalun juga banyak tapi gue gak menikmatinya saking kecapean. barulah di Danau Segara Anak gue bisa memandangi dengan leluasa dan bersahaja.
Pagi hari di Danau Segara Anak, kita bakal liat banyak porter dan guide yang mancing. Di Danau itu banyak banget ikannya. Gue sengaja bangun jam 05.30 pagi buat liat aktifitas mereka sembari nunggu matahari terbit. Indah banget berasanya. Ditambah lagi, gue disuguhi Pancake Pisang dan Roti Panggang buat sarapan. AH, HEAVEN!
Dari Segara Anak, perjalanan selanjutnya adalah menuju ke Plawangan Senaru dan turun ke Pos 3 untuk bermalam. LUAR BIASA! itulah ungkapan yang cocok buat medan pendakian menuju Plawangan Senaru. Awalnya sih enak muterin danau tapi setelah itu kita kudu naik-naik. Disyukurin aja sih soalnya kalo kita nanjak pas nengok ke belakangnya bisa lihat danau segara anak yang cantik itu. Jadi impas antara usaha dengan apa yang kita lihat.
Di momen ini sebenernya tidak sebegitu melelahkan seperti pos 3 sembalun menuju plawangan, karena tubuh juga udah mulai beradpatasi. Jadi, melangkah juga lebih santai. Dan begitu sampai di Plawangan Senaru, pemandangannya indah banget. Tapi anginnya juga kenceng banget.
Gue request ke mas Foan buat dikasi makan mie instant beserta micin. HAHAHA. kangen banget sama makanan yang satu itu dan mas Foan mengabulkan. Turun sedikit dari Plawangan Senaru, di bawah pohon akhirnya gue bisa makan mie instaannntt! PRESTASI 🙂
Peer berikutnya saat turun dari Plawangan Senaru menuju Pos 3. Kali ini jari-jari kaki gue yang gak bisa diajak kompromi. Medan pendakiannya menurun dengan banyak pasir sehingga pada saat gue menahan kaki, jari gue ikut tertahan. Beberapa kali gue minta restu buat ganti sendal tapi mas Foan tidak mengizinkan karena medannya berpasir. Akhirnya gue bertahan menggunakan sepatu sampai dengan Pos 3.
Walaupun medan menuju Pos 3 itu lumayan berat buat gue, tapi pemandangan sekitarnya oke banget. Sabana dengan gumpalan awan putih yang menakjubkan.
Begitu sampe pos 3, gue langsung menikmati Sunset yang bisa dinikmati dari Pendopo. Tenang. Kalem. Ah, semua spot di Rinjani indaaahh. Malam terakhir di Rinjani, gak banyak yang gue lakukan selain ngobrol dengan yang lain yaa istirahat aja.
Beberapa fakta yang gue dapatkan dari hasil obrolan:
1. Sendal jepit yang digunakan porter merk-nya Sky Way
2. Warga desa sekitar Rinjani yang menjadi porter dimulai sejak umur 15 tahun
3. Mas Ari, porter gue sudah menjadi porter selama 16 tahun *amazing*
Segitu aja deh fakta yang gue buka, kalau mau tau fakta-fakta lainnya kalian bisa ke Rinjani langsung dan ngobrol sama mereka 🙂
Pagi hari di hari terakhir, gue sarapan pancake pisang. Nom. Pokoknya naik gunung kali ini paling enak deh soal makanannya. Gausa diragukan lagi kemampuan porter dalam hal masak-memasak. Buah-buahan yang disediakan juga sangat variatif ada pisang, apel, semangka, nanas dan bisa disesuaikan dengan pesanan 😀
Pos 3 menuju desa Senaru banyak di dominasi hutan yang penuh dengan akar pepohonan. Medan pendakian yang paling menyenangkan! Adem dan tidak begitu ditemukan kesulitan yang berarti seperti medan pendakian yang sebelumnya. AH, I LOVE RINJANI. Akhirnya impian gue dari tahun lalu bisa terwujud. Seneng. Bangga. Speechless. Campur aduk deh perasaannya, GOD IS GOOD!
Waktu Tempuh Pendakian versi Gue
Sembalun – Plawangan Sembalun : 10 jam lebih
Plawangan Sembalun – Summit : 5 jam
Summit – Plawangan Sembalun : 2 jam
Plawangan Sembalun – Danau Segara Anak : 4 jam
Danau Segara Anak – Plawangan Senaru : 4 jam
Plawangan Senaru – Pos 3 Senaru : 2 jam
Pos 3 Senaru – Senaru : 5 jam lebih
(waktu diatas sudah termasuk istirahat dan makan)
1 Response
[…] Kali ini gue mencoba untuk menceritakan kisah menarik yang gue inget sampai sekarang saat gue naik gunung mulai dari pertama kali naik gunung di tahun 2014 sampai dengan yang terakhir kemarin ke, Rinjani. […]